CR7 dan SBY Tanam Mangrove, Lulut Sudah Jauh di Depan

Rabu, 26 Juni 2013, di Taman Hutan Raya (Tahura) Telaga Waja, Benoa, Bali, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan bintang Real Madrid Cristiano Ronaldo (CR7) melakukan penanaman mangrove. CR7 pun dinobatkan sebagai Duta Mangrove Indonesia. Kesediaan CR7 menjadi duta mangrove Indonesia tidak terlepas dari keprihatinannya setelah melihat kehancuran yang diakibatkan oleh bencana tsunami Aceh akhir tahun 2004 lalu. Pemain asal Portugal tersebut tidak ragu untuk mengambil andil agar tindakannya memberikan inspirasi bagi penyelamatan mangrove Indonesia.

Yang dilakukan oleh CR7 dan SBY sudah tepat, tidak salah, dan tidak keliru. Kita hanya berharap tindak lanjut, agar tidak hanya terhenti pada acara seremonial saja. Agar gaungnya lebih dahsyat lagi dan terasa di seluruh pelosok negeri. Terasa di sepanjang pantai Indonesia yang sungguh sangat panjang. Terasa dalam memperluas hutan mangrove Indonesia yang semakin tidak luas lagi. Semoga.

Tanpa mengecilkan arti tindakan yang dilakukan SBY dan CR7, tulisan ini hendak mengangkat langkah seorang Lulut Sri Yuliani, sosok yang telah jauh di depan dalam upaya pelestarian mangrove Indonesia. Sekedar oleh-oleh hasil dolanan ke Surabaya.

Siapakah Lulut Sri Yuliani? Seberapa pentingnyakah beliau sehingga perlu diangkat dalam tulisan? Mengapa diperbandingkan dengan CR7 dan SBY? Apa hubungannya? Apa korelasinya? Sudahlah, tak perlu banyak tanya, lanjutkan saja bacanya. *tersenyumlah…

Lulut Sri Yuliani
Sumber : http://www.ekonomi.kompas.com

Jika bertemu langsung dengan sosok Lulut Sri Yuliani, kesan pertama yang muncul adalah beliau sosok yang sangat sederhana, apa adanya, tanpa tedeng aling-aling, straight to the point. Setelah mendengarkan penjelasan sekilas tentang upaya pelestarian mangrove yang telah dilakoninya baru kita terperangah, terkagum-kagum, acungan jempol layak diberikan. Tanpa tedeng aling-aling, beliau langsung mengatakan, “Jika ingin tahu lebih banyak, serius untuk menjalani, silakan ikuti pelatihan kami. Jika tidak, lebih baik tidak usah. Pelatihan kami berbeda dengan pelatihan lainnya. Jika ketahuan ada yang tidak serius, kami tidak segan-segan untuk menghentikannya. Selesai pelatihan kami tetap melakukan monitoring agar pelatihan benar-benar bermanfaat”.

Produk Olahan Mangrove

Upaya yang dilakukan oleh Lulut Sri Yuliani dalam upaya melestarikan tanaman mangrove di kawasan Pantai Timur Surabaya memang luar biasa. Ibu Lulut langsung menerka apa yang ada di benak, yang menjadi keraguan kami. “Jangan berfikiran akan menemukan lokasi pengolahan mangrove dengan skala besar di sini. Kami lebih mementingkan pemberdayaan masyarakat sekitar”. Tempat pengolahan dan pembuatan produk-produk turunan mangrove yang dikomandoi oleh Ibu Lulut tersebar di sekitar kediamannya, di Kompleks Wisma Kedungasem Indah, Kecamatan Rungkut, Kota Surabaya. Semuanya skala rumahan, walaupun hasilnya melebihi itu. Selain tempat pembuatan batik mangrove yang berada di kediamannya sendiri, beliau juga menunjukkan rumah-rumah tempat pengolahan kerupuk mangrove, tempat pengolahan tempe mangrove, sirop mangrove, dll yang notabene merupakan tetangga-tetangganya. Tidak jauh dari kediamannya.

Perjuangan Ibu Lulut Sri Yuliani telah membuahkan hasil penghargaan Kalpataru tahun 2011 untuk kategori perintis lingkungan, namun itu tidak penting. Yang lebih penting adalah bagaimana membaktikan diri pada masyarakat dan lingkungan. Itu jauh lebih mulia, jauh lebih bernilai. Sesuai dengan janjinya pada Sang Pencipta setelah mengalami mujizat yang luar biasa.

Awalnya Ibu Lulut membaktikan diri sebagai guru, mengajar di sejumlah sekolah dan pernah menjabat sebagai Kepala Sekolah di SMK Panglima Sudirman dan SMPK Prapanca 2 Surabaya. Namun tahun 1997 Ibu Lulut mengalami tragedi hidup yang berat. Tubuhnya lumpuh dan dokter telah menjatuhkan vonis bahwa hidupnya tidak akan lama. Aliran darahnya tidak normal dan pembuluh darahnya pecah. Tangan, kaki, dan bagian tubuh lain tidak dapat digerakkan lagi. Jika aliran darah tidak dapat mencapai otak, maka tamatlah sudah. Walau tekad untuk sembuh sangat kuat, sampai pula Ibu Lulut pada tahap pasrah karena semua upaya pengobatan yang dilakukan sia-sia. Ibu Lulut hanya berharap mujizat. Terlontar janji. “ Jika sembuh, saya akan mengabdikan diri pada alam dan masyarakat”. Tuhan Maha Mendengar, beliau sembuh. Dan janji harus ditepati. Untuk itu, sejak tahun 2007, sebagai Ketua Forum Peduli Lingkungan (FPL) Kecamatan Rungkut, beliau total mengabdikan diri untuk masyarakat dan lingkungan. Dari sinilah seorang Lulut Sri Yuliani bergerak nyata, walau sudah memulai sejak tahun 1996.

Beragam Hasil Produk Olahan Mangrove

Beliau menyadari bahwa upaya pelestarian lingkungan tidak dapat hanya menjaga dan merawatnya saja tapi juga harus memiliki nilai ekonomi bagi warga setempat. Hanya yang perlu ditekankan, jangan berfikir ekonomi terlebih dahulu. Yang utama tetap lingkungan. Beliau berfikir tentang cara memberdayakan masyarakat untuk peduli pada mangrove namun tetap memberikan dampak ekonomi untuk masyarakat. Munculah beragam karya olahan mangrove dari tangannya. Dari tangannya mangrove dapat dioleh menjadi sirup, sabun cair, kerupuk, tepung, roti kering, permen, batik, dan banyak yang lainnya.

Ibu Lulut kemudian membentuk Koperasi Usaha Kecil Menengah (UKM) Griya Karya Tiara Kusuma untuk mempromosikan dan mendistribusikan produk olahan mangrove karya warga sekitar. Salah satu produk unggulannya adalah Seni Batik Mangrove Rungkut atau lebih dikenal dengan “Batik SeRU”. Apa yang membedakan Batik Seru dengan batik lainnya? Apa itu Batik Mangrove?

Batik Mangrove, Batik SeRU

Batik mangrove memiliki tema mangrove. Hutan mangrove dimanfaatkan sebagai dasar motif batik yang menarik. Tak hanya itu, prosesnya pun harus ramah lingkungan. Memakai pewarnaan alami. Setiap batik dibuat ekslusif, berbeda satu dengan yang lainnya. Setiap perajin menciptakan komposisi desain sendiri. Ibu Lulut hanya menyiapkan pakemnya saja. Beliau ingin agar setiap karya itu orisinal, tidak menjiplak. Peserta pelatihan batik mangrove pun harus lepas dari pengaruh batik lainnya. Hasil kerja kerasnya telah diapresiasi. SBY dan Ibu Ani pun tak mau ketinggalan, sudah memesan langsung batik seru.

CR7 dan SBY telah memukul gong keberpihakan pada mangrove Indonesia. Namun gaungnya harus terus disuarakan, disebarluaskan, dan ditindak lanjuti. Agar tidak hanya berhenti dalam tataran seremonial saja. Tidak nanggung. Perlu Lulut-Lulut lain yang mengambil estafet keberpihakan pada lingkungan. Perlu langkah-langkah lanjutan. Langkah yang terus melaju ke depan. Tanpa seremonial belaka.

Kaledo dari Bumi Tadulako

Satu kuliner yang melekat erat dengan Kota Palu, KALEDO. Bagi yang belum pernah mendengar, tentu bertanya-tanya.  Apa itu Kaledo? Sejenis makanan apa itu? Kaledo merupakan makanan yang melekat erat dengan Kota Palu, dengan Bumi Tadulako, utamanya di Kabupaten Donggala.  Kaledo merupakan kependekan dari Kaki Lembu Donggala. Sesuai dengan namanya, berbahan dasar Kaki Lembu atau sapi, baik daging, lemak, maupun tulang dan sumsumnya.

Setiap kunjungan ke Kota Palu, selalu diajak untuk mencicipi Kaledo, karena ini lah ciri khasnya. Saat menyantapnya, jangan sekali-kali berpikir tentang kolesterol dan gangguan kesehatan lainnya, karena kolesterol dan teman-temannya hanya ada di laboratorium dan di rumah sakit saja. Kolesterol tidak ada di rumah makan kaledo. Jika pikiran kita sudah melayang pada kolesterol, hilanglah selera makan. Hilanglah nafsu untuk menyantap.

Gambar

Kaledo dari Bumi Tadulako

Yang perlu ditanamkan di benak ketika mencicipi kaledo adalah kenyataan bahwa sumsum tulang sapi memiliki khasiat yang tidak kalah hebat. Selain gurih rasanya, sumsum tulang sapi lembut di mulut. Sangat pas untuk menikmatinya kala masih panas. Mungkin inilah salah satu alasan mengapa kaledo banyak penggemarnya. Konon katanya, sumsum tulang sangat baik untuk dikonsumsi oleh anak-anak karena dapat meningkatkan kinerja otak. Anak dapat menjadi pintar dan aktif. Sumsum tulang juga dapat digunakan sebagai campuran kaldu sebagai penambah nafsu makan anak. Selain itu, khasiat lainnya adalah untuk membuat tulang dan gigi tetap kuat serta meningkatkan kekebalan tubuh.  Tapi itu kan untuk anak? Untuk dewasa?

Biasanya kita dihadapkan pada 2 pilihan, menyantapnya dengan nasi atau dengan singkong rebus. Silakan memilih sesuai selera. Kuah kaledo berwarna bening agak kekuningan, rasanya sedikit asam menyegarkan. Rasa asam berasal selain dari buah asam yang merupakan salah satu komponen pelengkap kaledo juga dari jeruk nipis yang dapat ditambahkan sesuka hati. Awalnya bingung, bagaimana cara menyantapnya? Yang disantap adalah daging-daging yang menempel di tulang juga sumsum tulang yang terdapat di dalam rongga tulang. Caranya, jika kaledo masih panas dan sumsum masih cair, dapat diseruput menggunakan sedotan. Sluuuurrrpp…!! Sukakah saya? Ternyata tidak… hehehe… mungkin masih terbayang lemak yang terkandung di dalamnya. Itulah salahnya.

Kaledo disajikan dengan singkong rebus

Bagaimana munculnya ide untuk mengolah tulang-belulang sapi menjadi olahan makanan yang digemari? Ternyata menurut pemilik rumah makan, ada ceritanya. Konon, jaman dulu ada seorang dermawan memotong sapi dan membagikannya. Orang Jawa sebagai orang yang pertama kali datang mendapatkan bagian daging sapi yang empuk, lalu mengolahnya menjadi bakso. Datanglah orang Makassar, karena tidak ada lagi daging, diambilnyalah jeroan/isi perut sapi dan diolah menjadi Coto Makassar. Orang Kaili yang merupakan penduduk asli Donggala datang terakhir dan yang tersisa hanya tulang dengan sedikit daging yang masih menempel. Orang Donggala ini beruntung tidak kehilangan akal. Mereka mengolahnya menjadi masakan. Terciptalah kaledo yang hingga saat ini menjadi masakan khas Sulawesi Tengah.

Walaupun menurut cerita di atas, kaki lembu dan tulang-tulangnya merupakan sisa, ternyata di Bumi Tadulako memiliki nilai tinggi. Berharga mahal. Bahkan menurut cerita, banyak kejadian mutilasi terhadap kaki lembu. Lembu dipotong hanya kakinya saja dan bagian lainnya ditinggalkan begitu saja. Lembu akhirnya mati kehabisan darah. Sungguh kejam, sekaligus ironis. Heuh….!

Cinta dan Kejujuran Terbungkus Manis dalam Bawang Goreng Mbok Sri

Identitas sebuah kota dapat terwujud dari bentuk fisik kota maupun sebagai akumulasi dari budaya serta sumber daya alam yang tumbuh dan berkembang di dalamnya. Identitas “baru” dapat saja muncul atau ditambahkan pada identitas sebelumnya. Begitu pula halnya dengan kuliner, yang ternyata turut berperan dalam membentuk maupun menambahkan identitas sebuah kota.  Ambil contoh Kota Yogyakarta yang dikenal sebagai Kota Pelajar, dapat ditambahkan dengan identitas sebagai Kota Gudeg. Demikian halnya dengan Kota Palembang yang memiliki identitas sebagai Kota Pempek. Nama-nama makanan tersebut seakan melekat dengan kotanya, menjadi identitas kota.

Lalu, apa yang menjadi ciri Kota Palu? Makanan atau cemilan apa yang dapat dijadikan identitas Kota Palu? Makanan apa yang terlintas di benak, yang dapat diasosiasikan dengan Kota Palu? Hal pertama yang muncul adalah kaledo, giliran berikutnya, bawang goreng. Tidak sah rasanya kalau ke Palu tidak membawa oleh-oleh bawang goreng. Tidak afdol rasanya kalau berkunjung ke Kota Palu tanpa membawa pulang bawang goreng Mbok Sri.

Tanggal 23-25 Juni 2013 yang lalu, kebetulan mendapatkan kesempatan untuk berkunjung ke Kota Palu. Di sela-sela tugas, satu hal yang pasti. Harus membawa pulang bawang goreng dan itu harus bawang goreng Mbok Sri. Mengapa bawang goreng Mbok Sri? Tidak adakah yang lainnya? Jawabannya: Ada, hanya sudah kadung cinta dengan bawang goreng Mbok Sri.

Mbok Sri bukan sosok baru dalam hal perbawang gorengan. Mbok Sri sudah sepuh, usianya sudah 81 tahun, namun beliau masih sangat setia dengan bawang goreng. Toko/kiosnya, bersatu dengan tempat kediamannya, di perumahan BTN Mutiara Indah Blok E No. 3 Kota Palu. Kalau perlu, hubungi terlebih dahulu lewat telpon di 0451-482085 atau di 0821-194215774.  Selain bawang goreng, Mbok Sri juga menjual abon  daging sapi, abon ikan, dan aneka camilan lainnya. Beliau tetap ingin disapa Mbok, bukan Ibu, dan bukan pula Mbah. “Mengapa Mbok?”. Jawabnya, “Mbok lebih senang dipanggil seperti itu”.  Ketika diminta untuk difoto, bergegas dia mencari kacamatanya. “Tunggu, saya ambil kacamata dulu, supaya terlihat cantik”.

Mbok Sri dan kacamatanya, pelengkap cantiknya

Beliau juga dengan senang hati menunjukkan foto-foto masa mudanya, mengajak ke kamarnya, tempat kumpulan kenangannya, memperkenalkan masa lalunya. “Cantik kan Mbak? Itu foto Mbok dan almarhum suami Mbok. Sayang beliau tidak menemani hingga saat ini”.

Mbok Sri dan Almarhum Suaminya

Bawang goreng Mbok Sri sungguk enak, renyah, crispy, gurih, jempol. Selain itu, tahan lama, dapat bertahan hingga 1 tahun. Tidak nampak sedikitpun sisa minyak pada bawang gorengnya maupun dalam kemasannya. Tidak seperti bawang goreng lainnya. Kalau berdasarkan pengalaman, hanya bisa disaingi oleh bawang goreng jempolan lainnya, yaitu bawang goreng Tangerang. Harganya cukup bersahabat. Kemasannya beragam. Untuk kemasan 500 gr dibandrol Rp. 100.000,- dan untuk kemasan 100 gr, 150 gr, dan 250 gr masing-masing dihargai Rp. 20.000,- , Rp. 30.000,-, dan Rp. 50.000,-.

Bawang Goreng Mbok Sri

Mbok Sri sudah bergelut dalam usaha bawang goreng ini sejak tahun 1980. Sudah 33 tahun lamanya. Tanpa ragu beliau menceritakan.”Dulu belum seenak sekarang, Mbok harus keliling-keliling menenteng bungkusan bawang goreng dan abon dari satu kantor ke kantor lainnya.  Dulu orang-orang masih belum terbiasa membeli bawang goreng karena dianggap setiap rumah tangga pasti bisa membuat bawang goreng di rumahnya masing-masing ” Tergambar kegigihan usaha. Terpampang keuletan dalam kerja. Patut ditiru, dicontoh, dan diteladani. Ketika ditanyakan apa resep usahanya, dengan antusias beliau menjawab, “Cinta dan Jujur”. Kita harus mencintai segala sesuatu yang kita lakukan dan jujur dalam bertindak, bersikap, bekerja. “Jika Mbok Sri tidak mencintai bawang goreng dan tidak jujur dalam usaha, Mbok yakin, Mbok tidak akan jadi seperti ini” tuturnya.

Mbok Sri seperti umumnya para sepuh lainnya, senang bercerita, senang diajak ngobrol. “Dulu Mbok hanya mengolah 1 atau 2 kilogram bawang merah saja, sekarang sudah mencapai 1-2 ton bawang merah per hari. Alhamdulillah, dari hasil usaha bawang goreng, Mbok sudah berkali-kali naik haji, dan menyekolahkan seluruh anak Mbok hingga selesai. Sekarang dilanjutkan oleh cucu dan cicit.“ Hingga saat ini, di usianya yang sudah senja, beliau masih terlibat langsung dalam pembuatan bawang goreng, minimal, masih tetap mengawasi. Masih tetap menebarkan cinta dan kejujuran dalam usahanya. Seperti kecintaannya terhadap bawang goreng dan kejujurannya dalam berusaha.

Sampai ketemu lagi Mbok Sri. Ke Palu tak elok rasanya jika tak mampir ke Mbok Sri.

Kriiiiuuukkk!!! Kreeesss!!!

Garuda Indonesia: Bantulah Kami Meraih Mimpi (Pengalaman Terbang Bersama Garuda Indonesia)

Pagi masih buta dan mentari pun masih malu-malu untuk menampakkan diri. Tidak demikian halnya dengan manusia dan kendaraannya di Jakarta. Mereka tidak pernah mengenal kata malu untuk memulai hari, untuk memulai aktivitas. Jalanan menuju Bandara Soekarno-Hatta sudah sangat merayap. Denyut kota sudah sangat terasa. Kalau sudah begini, detakan di dada turut meningkat secara pasti.

Berbekal kode booking, langsung menuju counter Garuda Indonesia. Print selesai, lanjut check-in. Walau bukan kali pertama mengalami hal seperti ini, tetap tercetus,  “WOW..!”. Inikah salah satu indikator pertumbuhan ekonomi Indonesia? Inikah salah satu simbol kemajuan? Jawabannya bisa saja iya, walaupun tidak pula setuju sepenuhnya. Antrian sudah seperti lagu anak-anak : Ular naga panjangnya bukan kepalang….

Keberuntungan pertama hadir menghampiri. Untung kartu Garuda Frequent Flyer Gold (GFF Gold) ada di kantong. Walau tetap antri, minimal lumayan, masih ular kecil, belum seperti ular naga yang panjangnya bukan kepalang. Nyaris saja. Sebenarnya, Garuda Indonesia telah memberikan beberapa kemudahan terkait dengan “check-in”. Kita bisa melakukan City Check-in di kantor-kantor cabang Garuda Indonesia, baik domestik maupun internasional.  City check-in dapat dilakukan mulai dari 24 hingga 4 jam sebelum waktu keberangkatan. Kita juga dapat memaksimalkan fasilitas Web Check-in sebagai alternatif yang disediakan oleh Garuda Indonesia untuk mempermudah proses check-in, walau saat ini hanya dapat digunakan untuk penerbangan domestik saja.

Executive Lounge Garuda Indonesia di Bandara Soekarno Hatta
Sumber : http://www.garuda-indonesia.com

 Sayang dalam penerbangan kali ini tidak dapat menikmati fasilitas executive lounge yang selayaknya merupakan hak pemegang kartu GFF Gold. Memang selalu demikian, selalu nyaris berdekatan dengan waktu boarding. Sebagai informasi, terdapat beragam fasilitas yang ditawarkan executive lounge, antara lain business center, wireless internet connection, refreshing area, reflexology machine, shower, nursery room dan ruang beribadah. Di executive lounge  juga kita dapat menikmati beragam menu makanan dan minuman terutama variasi makanan khas Indonesia.

Mata tertuju ke arah kabin, tepatnya ke arah nomor yang tercantum di kabin, berusaha mencari tempat duduk. “Kok sudah ada orangnya?”. Kembali melirik boarding pass, benar, nomornya memang itu, tidak salah. Dengan sopan, setidaknya menurut versi saya, mencoba bertanya, “Mohon maaf, Ibu duduk di nomor berapa?”. Hanya itu dan tidak lebih, tidak juga kurang. Namun reaksi si Ibu di luar dugaan. “Kenapa? Saya duduk di sini, di nomor ini. Tidak percaya? Apa saya sebodoh itu, sehingga salah mencari tempat duduk? Apa saya terlihat seperti orang yang baru pertama naik pesawat? Lihat boarding pass saya, benar kan?”. Lho kok sewot ? Ah, mungkin Ibu itu sedang menghadapi banyak persoalan, banyak permasalahan. Tetap berusaha berpikir positif.

Sebenarnya masih banyak rentetan pembelaan si Ibu tadi, atau lebih tepatnya berondongan. Namun tidak terekam dengan baik dan saya pun kurang tertarik. Pertanyaan satu kalimat yang saya  ajukan ternyata berbalas beragam pertanyaan pula. Seketika suara Ibu itu mengundang perhatian penumpang lainnya. Hmmm malu juga.

Seorang pramugari segera menghampiri. Dengan ramah, mencoba mengecek kedua boarding pass. Ternyata memang memiliki nomor tempat duduk yang sama. Jadi memang tidak ada yang salah antara ibu itu dan saya.

Pelayanan di kelas bisnis Garuda Indonesia
Sumber : http://www.hariansumutpos.com

Inilah keberuntungan kedua saya. Pramugari meminta maaf atas kesalahan yang terjadi dan mempersilakan saya untuk menempati tempat duduk di kelas bisnis yang kebetulan tak berpenghuni sebagai pengganti. Coba Ibu tadi lebih ramah, tidak perlu bernada tinggi, mungkin keberuntungan menikmati tempat duduk di kelas bisnis menjadi miliknya. Dan keberuntungan itu telah menjadi milik saya, sebagai imbalan dari sikap tetap sabar. Orang sabar memang disayang Tuhan. Walau saya pun terkadang tergolong orang yang sulit untuk sabar.

Saya selalu memesan kelas ekonomi karena memang mampunya begitu dan jatah dari sang pemberi tugas demikian adanya. Namun, peristiwa “dipindahkan” ke kelas bisnis telah dua kali saya alami. Hanya saja, kali yang pertama  tidak harus terlebih dahulu mendengarkan berondongan pertanyaan seorang Ibu. Fasilitas di kelas bisnis tentunya lebih lengkap dan lebih baik jika dibandingkan dengan kelas ekonomi. Walau jujur, saya lebih suka di kelas ekonomi. Rasanya canggung juga senantiasa dilayani dan dinomor satukan. Itu menurut pendapat saya.

Masih banyak pengalaman yang dialami bersama Garuda Indonesia. Yang paling berkesan dan yang paling ditunggu adalah terbang gratis dengan point reward GFF. Garuda Indonesia memberikan reward bagi para pengguna setianya. Setiap terbang menggunakan Garuda Indonesia, pemilik kartu GFF berhak untuk mendapatkan dan mengumpulkan mileage. Sejumlah mileage akan diperoleh setiap kali terbang pada eligible flight dan/atau bertransaksi dengan partner Garuda Indonesia dalam program GFF. Perhitungan Award Miles adalah Tier Miles ditambah mileage lainnya (bonus, promo, transfer, dll). Award Miles dapat ditukarkan dengan Award Ticket, Upgrade Award atau Award lainnya. Tidak usah khawatir, Award Miles akan terus terakumulasi selama keanggotaan aktif, dan akan hangus ketika keanggotaan dihentikan.  Award Miles inilah yang telah saya gunakan untuk terbang Jakarta-Bali pp, GRATIS, bulan Maret 2013 yang lalu. Saat ini jumlah miles yang saya miliki telah cukup untuk melakukan perjalanan gratis kembali. Senangnya. Tinggal cari waktunya dan kumpulkan sangunya.

Ada pengalaman terbang yang menyenangkan, tentunya ada pula pengalaman terbang yang tidak mengenakkan. Harus pula disampaikan supaya berimbang dan lebih adil. Pengalaman delayed ? Pasti telah dialami dan itu tidak menyenangkan. Hanya satu yang patut dipuji. Untuk delayed  yang terjadi, Garuda Indonesia pasti memberikan kompensasi. Entah itu hanya berupa snack, makanan, hingga penginapan gratis. Namun tetap tidak mengenakkan, karena tentunya konsumen dirugikan. Kerugian mencakup rugi waktu, acara tertunda, bahkan kemungkinan batal sama sekali. Semoga ini makin dapat direduksi dan bila mungkin, dihilangkan sama sekali.

Pengalaman tidak menyenangkan lainnya adalah keadaan tanpa informasi, kondisi tanpa pemberitahuan yang pasti. Kala itu, Informasi terakhir hanya diterima saat akan boarding. Penumpang dipersilakan untuk menaiki pesawat. Namun setelah berada di dalam pesawat hingga hampir satu jam, tidak kunjung take off. Penumpang dibiarkan menunggu di pesawat tanpa pemberian informasi tentang peristiwa yang tengah terjadi. Penumpang dibiarkan bertanya-tanya. Usut punya usut, ternyata penyebabnya adalah kondisi bandara yang tengah sibuk sehingga memaksa pesawat untuk antri baik take off maupun landing. Dari jendela pesawat terlihat ada pesawat yang terus berputar-putar, menunggu ijin mendarat. Di landasan terlihat pula beberapa pesawat yang antri untuk terbang. Yang disayangkan dan disesalkan, mengapa tanpa pemberian informasi, tanpa penjelasan?

Pengalaman yang tidak menyenangkan tidak menyurutkan niat untuk terbang bersama Garuda Indonesia. Garuda Indonesia tetap menjadi pilihan utama. Garuda Indonesia tetap menjadi andalan.  Tetaplah terbang Garuda Indonesia. Bantulah kami untuk meraih mimpi.

Jokowi Harus Mencontoh Wagiman

Siapa itu Wagiman? Apa hebatnya Wagiman? Bukankah sekarang seorang Jokowi sudah menjadi contoh dan panutan bagi sebagian besar orang, bahkan di tataran Nasional sehingga banyak digadang-gadang untuk menjadi Presiden? Mengapa harus mencontoh orang lain? Mengapa harus mencontoh Wagiman? Untuk mencari tahu jawabannya, silakan simak….

Kebetulan selama 3 hari saya berkesempatan untuk berkunjung ke Kota Surabaya dan saya terkesan. Kota Surabaya memang layak dan pantas jika dijuluki sebagai Kota Sejuta Taman. Sepanjang perjalanan dari Bandara Juanda menuju pusat kota, menuju hotel tempat menginap sementara, pemandangan taman langsung tampak dengan nyata. Langsung terpapar dengan jelas. Pemandangan hijaunya taman, indahnya median jalan, dan deretan pepohonan di pinggir jalan, selalu menghampiri, mengundang untuk sekedar ditengok dan diperhatikan. Hampir tidak ada lahan kosong milik publik yang dibiarkan merana tanpa sentuhan hijaunya tanaman. Hampir tidak ada median jalan yang tidak terwarnai hijaunya tumbuhan dan beraneka warnanya bunga. Semua cantik, semua indah, semua memancarkan aroma kesejukan dan kesegaran.  Panasnya suhu Surabaya terdegradasi dan terkorupsi oleh rimbunnya dan rindangnya pepohonan.

Taman Bungkul – Surabaya. Sumber : eastjava.com

Sepanjang perjalanan menuju hotel, jadi ajang tebak-tebakan dan diskusi di antara kami. Jenis pohon apakah itu? Kok bisa ya, tumbuh di Surabaya yang panas? Siapa yang bisa menemukan median tanpa sentuhan taman? Siapa dalang semua ini? Siapa yang bertanggung jawab atas semuanya?

Bisakah Jakarta seperti itu? Jawabannya : BISA. Jika Jokowi mencontoh Wagiman. Siapa itu Wagiman?

Mungkin belum banyak yang mengenal sosok Tri Rismaharini. Beliau tidak seterkenal Jokowi, yang namanya sudah berskala Nasional. Saya juga tidak mengenalnya dan saya gak mau sok kenal, sok dekat. Tapi saya tahu siapa itu Tri Rismaharini. Tahu berbeda dengan kenal dan tahu belum tentu kenal. Beliau adalah sosok wanita pertama yang menyandang gelar Walikota Surabaya. Lalu apa hubungannya dengan Wagiman? Saudaranyakah?

Tri Rismaharini inilah yang dikenal sebagai Wagiman. Beliau memang mendapatkan julukan WAGIMAN, Walikota Gila Taman. Tersinggungkah beliau dengan julukan tersebut? Harusnya tidak perlu. Sepatutnya beliau bangga. Saat ini, beliau berdampingan dengan mantan walikota Surabaya sebelumnya, yaitu Bambang Dwi Hartono, memimpin komando sebagai Walikota Surabaya dan Wakil Walikota Surabaya.

Tidak usah terlalu kaget, karena ternyata sebelum menjabat sebagai Walikota Surabaya, beliau pernah menjabat sebagai Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) dan Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota (Bappeko). Beliaulah dalang dan yang bertanggung jawab atas bersih, hijau, dan asrinya Kota Surabaya. Beliau bertekad untuk menjadikan Surabaya sebagai Kota Sejuta Taman dan itu tampaknya telah menunjukkan hasil. Kota Surabaya tercatat berhasil meraih Piala Adipura tahun 2011. Beliau juga ternyata pernah menjadi salah satu nominasi Walikota terbaik di dunia tahun 2012 melalui “2012 World Mayor Prize” yang diselenggarakan oleh The City MayorsWorld Mayor Prize merupakan penghargaan yang diberikan atas prestasi yang dicapai oleh walikota dalam memajukan kota yang dipimpinnya. Beliau dinilai berhasil menata Kota Surabaya menjadi kota yang bersih dan tentunya penuh dengan taman.

Tidak sedikit taman yang telah disentuhnya, misalnya Taman Bungkul di Jalan Raya Darmo dengan konsep all-in-one entertainment park nya. Kini Taman Bungkul telah menjadi taman terbesar dan terkenal di Kota Surabaya. Selain itu, yang tak kalah menarik adalah sentuhannya pada taman di Bundaran Dolog, taman Undaan, taman di Bawean, dan beberapa taman lainnya yang sekarang telah menjadi tempat refreshing atau sekedar melepas penat warga kota.

Jokowi harus mencontoh Wagiman. Menambah hijaunya Jakarta. Jokowi juga bukan tanpa upaya untuk pengadaan Ruang Terbuka Hijau Publik (RTH Publik). Namun gaungnya tenggelam di antara beragam permasalahan urgent lainnya. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berupaya keras untuk menambah luasan RTH, demi untuk menjadikan ibukota yang lebih hijau dan lebih nyaman. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) DKI 2013-2017, salah satu misinya adalah menjamin ketersediaan hunian dan ruang publik yang layak serta terjangkau warga kota.

Salah satu langkahnya, yaitu dengan meningkatkan luasan dan kualitas RTH publik dan privat. Jakarta berencana untuk mencapai luas RTH di atas 11 % di tahun 2017 dari awalnya yang hanya 9,9 %. Caranya dengan menerapkan penambahan RTH publik melalui penyediaan dan pembelian lahan baru, dengan pembebasan lahan. Ini juga rencananya dilakukan bekerja sama melalui penggalangan peran swasta dalam penyediaan RTH publik. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga merencanakan penerapan regulasi untuk penambahan RTH privat pada kawasan perkantoran, perdagangan dan jasa, serta kawasan industri. Mampukah? Dapatkah? Mampukah Jokowi mencontoh Wagiman? Butuh pembuktian. Kita lihat nanti.

Dirgahayu Jakarta: Masih Mampukah Memikul Beban?

Hari ini, Jakarta berulang tahun, ulang tahun yang ke 486. Ditilik dari umurnya, Jakarta sudah sangat renta namun sekaligus juga kaya akan sejarah perjalanan. Di usianya yang telah uzur, masih mampukah Jakarta memikul beban? Masih mampukah menanggung beratnya desakan hidup? Masih mampukah memberi harapan bagi para penghuninya? Berikut  adalah beban-beban yang tampak jelas menghadang di depan mata.

Beban Jumlah Penduduk

Sumber : nasional.kompas.com

Merujuk pada catatan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, jumlah penduduk Provinsi DKI Jakarta per Nopember 2011 adalah 10.187.595 jiwa.  Jumlah yang sangat besar untuk luas wilayah yang hanya 650 km2. Dari kedua angka tersebut diketahui kepadatan penduduk Provinsi DKI Jakarta rata-rata 15.673 jiwa/km2. Jika kita mau lebih rinci lagi, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, dan Jakarta Selatan, masing-masing menempati kepadatan penduduk no 1 hingga no 3 di Indonesia, dengan kepadatan penduduk Jakarta Pusat yang mencapai 23.371 jiwa/km2. Bagaimana dengan Jakarta Timur dan Jakarta Utara? Tidak jauh berbeda, mereka tetap berada di 10 besar kota yang berkepadatan tinggi, yaitu di urutan 7 dan 9. Hanya Kepulauan Seribu yang berbeda. Data tersebut tidak terlalu mengejutkan. Tidak terlalu mencengangkan karena sudah bisa ditebak.

Itu hanya hitungan jumlah penduduk secara resmi. Kalau kita mau lebih cermat, jumlah “penduduk siang” di Jakarta akan berbeda dengan “penduduk malam”. Jumlah di atas belum memperhitungkan beban yang harus dipikul Kota Jakarta pada siang hari. Jumlah tersebut belum mengakomodir jumlah penduduk di sekitar Jakarta yang menjadi Commuter. Tinggal di sekitar Jakarta namun bekerja dan mencari penghidupan di Jakarta. Sehingga jumlahnya akan lebih banyak lagi.

Coba bandingkan dengan kota-kota lainnya di luar Pulau Jawa. Kota Palu sebagai ibukota Provinsi Sulawesi Tengah hanya memiliki kepadatan penduduk 739 jiwa/km2 . Kota Palangkaraya yang merupakan ibukota Provinsi Kalimantan Tengah, yang sering diwacanakan sebagai alternatif ibukota negara, “hanya” memiliki kepadatan penduduk 71 jiwa/km2 saja. Kota Sorong di Papua Barat sana juga hanya memiliki kepadatan penduduk 132 jiwa/km2.

Jumlah penduduk Jakarta yang sedemikian besar bukan angka mati, yang tetap berada di angka tersebut. Kecenderungannya masih akan bertambah. Jakarta tetap dipandang sebagai pabrik gula yang selalu mengundang semut untuk mendatangi. Bagi sebagian besar orang yang berada di luar Jakarta, Jakarta tetap dipandang sebagai tempat untuk mewujudkan harapan dan cita. Tidak perlu razia KTP yang selalu dilaksanakan setiap habis Lebaran, karena bukan itu solusinya. Jakarta bukan Kota yang dapat berdiri sendiri dan memecahkan permasalahannya sendiri. Tanpa pembukaan keran harapan di daerah asal, tanpa pembukaan lapangan pekerjaan di wilayah asal, tanpa pembangunan dan penyediaan sarana dan prasarana di perdesaan, kita tidak bisa mencegah mereka datang.

Lepas dari solusi komprehensif terhadap permasalahan yang ada, so what? Apa artinya angka-angka tersebut? Jumlah penduduk yang besar dengan kepadatan yang tinggi tentunya menimbulkan konsekuensi. Tentunya membutuhkan pelayanan yang memadai. Membutuhkan sarana dan prasarana. Sudahkah Jakarta memenuhinya? Sudahkah Jakarta mengantisipasinya? Kecepatan pertumbuhan penduduk harus diimbangi dengan kecepatan penyediaan sarana dan prasarana pendukungnya.

Beban Lingkungan

Manusia hidup dan berkehidupan menyatu dengan lingkungannya, baik itu lingkungan alam maupun lingkungan buatan. Demikian pula hal nya dengan manusia yang tinggal di Jakarta. Jakarta bukannya tidak tak terbatas. Jakarta memiliki batasan. Ada hitungan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Sekedar menyegarkan ingatan, yang dimaksud dengan daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antarkeduanya. Yang dimaksud dengan daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk dan dimasukkan ke dalamnya.

Ada batas toleransi pengembangan dan pembangunan yang perlu ditegaskan untuk Kota Jakarta. Memang perlu diakui, manusia dengan karunia akal dan pikiran, dapat melakukan rekayasa teknologi terkait dengan pembangunan yang dilakukan. Manusia dapat mengatasi permasalahan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Namun, pada akhirnya, ada batasan yang tidak dapat dilampaui. Alam pasti akan menunjukkan keperkasaannya. Alam dan lingkungan akan menampilkan reaksi secara fisik.

Kita dapat menggunakan analogi kapal laut. Setiap kapal memiliki kapasitas dan kemampuan tonasi sebagai ambang batas kemampuan dan daya angkut kapal. Dengan rekayasa teknologi yang terus berkembang, tonasi sebagai ambang batas bisa saja bertambah. Namun begitu ambang batasnya terlampaui, kapal akan tenggelam dan karam. Begitu pula halnya dengan Kota Jakarta, ketika beban lingkungan yang dialami oleh Jakarta telah melampaui daya dukung dan daya tampungnya, Jakarta akan tenggelam, tanpa daya.

Masih terekam dalam ingatan, peristiwa amblesnya Jalan RE Martadinata di Jakarta Utara sedalam 7 m pada ruang sepanjang 103 meter dengan lebar 4 meter. Ini juga merupakan salah satu pertanda jalan tersebut telah memikul beban yang terlampau berat, melampaui kemampuannya untuk mendukung kegiatan di atasnya, untuk menampung aktivitas di atasnya.

Rob di Jakarta
Sumber : megapolitan.kompas.com

Beban lingkungan lain yang patut untuk diperhatikan adalah dampak yang dihasilkan oleh pemanasan global. Jakarta pun mengalaminya. Jakarta mengalami penurunan muka tanah dan kenaikan permukaan air laut. Penurunan muka tanah dan kenaikan air laut  berdampak pada meluasnya Rob atau banjir air laut. Tidak perlu terlalu jauh untuk membuktikannya. Jalan Pangeran Jayakarta di Jakarta Utara sebagai salah satu bukti. Walau tidak ada hujan, jalannya tetap tergenang, dan itu akibat rob. Rob atau dikenal pula dengan banjir laut adalah banjir yang menggenangi daratan yang lebih rendah dari permukaan air laut pada suatu daerah yang disebabkan oleh air laut pasang. Di jakarta, menurut data yang ada, pemanasan global telah mengakibatkan kenaikan air laut  5 hingga 8 milimeter setiap tahunnya.

Akankah Jakarta bertahan? Mampukah Jakarta memikul beban?

Beban Penyediaan Sarana dan Prasarana Transportasi Publik

Jakarta merupakan Kota Metropolitan. Untuk mewujudkan Kota Jakarta yang indah, sehat, nyaman, dan layak huni, masih dihadapkan pada permasalahan penyediaan pelayanan sarana dan prasarana publik yang memadai dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Jumlah penduduk yang besar dan jumlah commuter yang tinggi membutuhkan pemenuhan atas tuntutan ketersediaan sarana dan prasarana transportasi, khususnya transportasi publik.

Sumber : kompas.com

Konon katanya, saat ini Jakarta masih terkungkung oleh permasalahan kemacetan. Masalah klasik namun sangat membutuhkan penanganan segera. Ini masalah urgent dan sangat serius. Jika orang ditanya tentang bagaimana menggambarkan Kota Jakarta dalam satu kata, bukan tidak mungkin jika persentasi jawaban “Macet” akan menempati porsi yang tinggi. Walaupun saya tidak sepenuhnya setuju. Banyak yang dengan cepat menyimpulkan bahwa solusinya adalah penambahan jalan, pelebaran jalan. Itu memang solusi, tapi hanya sesaat. Terkadang, bahkan seringkali, pemerintah menerapkan kebijakan yang keliru. Penambahan jalan dan penyediaan angkutan massal yang buruk dan tidak nyaman hanya akan mendorong masyarakat untuk memiliki mobil baru. Pemerintah harus memenuhi kebutuhan transportasi masyarakat. Masyarakat sebenarnya tidak membutuhkan jalan yang mulus dan lebar namun membutuhkan sampai ke tempat tujuan atau ke tempat aktivitasnya atau ke tempat kerjanya dengan aman, lancar, nyaman, dan tepat waktu.  Kemacetan di Jakarta disebabkan oleh pemakaian kendaraan pribadi yang berlebihan dan ini salah satunya sebagai akibat dari penyediaan angkutan massal yang tidak memadai, tidak aman, tidak nyaman, dan tidak tepat waktu. Kalau angkutan massal memadai, aman, nyaman, tepat waktu, tanpa pemaksaan pun, pemakai kendaraan pribadi akan beralih dan tidak akan macet.

Jumlah kendaraan pribadi yang melimpah ruah karena Jakarta tidak memperhatikan pengembangan angkutan umum. Kalau angkutan umum telah dibenahi keadaan tentunya akan lain. Masyarakat tentu akan cerdas untuk menentukan. Kalau angkutan umum lebih buruk dibandingkan dengan kendaraan pribadi, tentunya mereka tidak akan mau beralih.

Jokowi selaku panglima, pimpinan tertinggi Jakarta bukan tanpa upaya dan tanpa usaha. Namun perlu sumbangan dari seluruh lapisan warga untuk membantunya. Perlu sumbangan pemikiran dari para pakar, perlu sumbangan kesadaran dan dukungan masyarakat, perlu kontribusi swasta, dsb. Jokowi sudah tepat dengan lebih memilih membangun sarana transportasi massal dibandingkan dengan menambah jaringan jalan. Kita tidak perlu malu untuk belajar dari penyediaan atau pembangunan transportasi massal di kota lain yang telah menyediakan angkutan massal yang cepat dan murah. Tokyo misalnya, yang telah memiliki dan mengoperasikan kereta bawah tanah (subway) dengan pelayanan prima. Jadwal keberangkatan tepat waktu dan didukung ratusan armada.

Sebenarnya sangat sederhana, kemacetan dapat dikatakan kondisi yang dialami karena kebutuhan jauh lebih besar dibandingkan pemenuhan kebutuhannya. Demand lebih besar dari supply yang ada. Kebutuhan akan angkutan massal melebihi ketersediaan angkutan massal yang ada. Namun solusinya ternyata tidak semudah itu. Penggunaan kendaraan umum sebagai alternatif moda harus diimbangi dengan peningkatan kapasitas dan kualitas layanan untuk menarik minat warga. Pilihan angkutan massal yang sesuai telah banyak diwacanakan dan semoga segera direalisasikan, seperti Mass Rapid Transit (MRT), monorel, dan lainnya.

Masihkah Jakarta mampu memikul beban ini? Masihkah Jakarta menahan beban ini? Semoga.

Beban Banjir

Beban ini sebenarnya terkait sangat erat dengan beban lingkungan.  Beban ini sangat berhubungan dengan permasalahan lingkungan. Masalah banjir di Jakarta juga termasuk permasalahan yang rutin terjadi dan penanganannya pun rutin dilakukan. Sayang penanganannya terkadang hanya rutinitas sesaat. Hanya rutin ketika banjir telah terjadi atau hanya pada saat mau memasuki musim banjir.

Sumber : kompas.com

Permasalahan banjir belum juga dapat terselesaikan bahkan cenderung lebih parah. Sekarang kawasan yang terkena banjir atau paling tidak mengalami genangan cukup merata di seluruh wilayah Jakarta. Jumlah akses jalan yang terputus akibat banjir bertambah signifikan. Air dengan ketinggian beragam, dari hanya 10 cm hingga beberapa meter menggenangi jalanan ibukota. Banjir tidak pilih-pilih lokasi, mulai dari perkampungan hingga Istana Kepresidenan pun terkena. Inikah pemerataan? Bundaran Hotel Indonesia yang merupakan salah satu Landmark Kota Jakarta pun tak luput, terkena juga. Apa sebabnya?

Telah terjadi perubahan fungsi dan peruntukan ruang di Jakarta dan kota-kota yang terletak di hulunya. Perubahan besar telah terjadi pada ruang di Kota Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur, dan lainnya.  Resapan air hujan menjadi berkurang dan sesuai hukum alam, air dengan cepat mengalir ke dataran yang lebih rendah, ke kawasan di bawahnya.

Permasalahan tersebut diperparah dengan buruknya sistem drainase di Jakarta. Belum lagi ditambah dengan permasalahan ketinggian beberapa kawasan di Kota Jakarta yang bahkan lebih rendah dibandingkan dengan permukaan air laut. Saluran drainase yang seharusnya berujung di sungai atau laut, tidak sepenuhnya terlaksana. Fungsi waduk dan situ pun tidak optimal. Pendangkalan waduk, perambahan penduduk di area waduk, itu yang tengah dibenahi Jokowi dan Ahok saat ini. Jika optimal, waduk tentunya dapat menjadi cadangan air bersih di kala diperlukan.

Solusi terhadap permasalahan dan beban banjir tidak hanya cukup dilakukan melalui rekayasa teknis dengan membuat sodetan maupun gorong-gorong raksasa seperti yang sering diwacanakan. Yang tidak kalah penting dan seharusnya menempati porsi tinggi, adalah perlunya rekayasa sosial. Perlu mengubah pola pikir masyarakat. Ini penting dilakukan. Misalnya dengan mengubah pola pikir masyarakat yang masih menganggap bahwa sungai adalah tempat sampah besar. Sadar untuk tidak membuang sampah sembarangan. Sadar bahwa membuang sampah ke sungai merupakan salah satu penyebab banjir. Rekayasa teknis tidak akan menyelesaikan masalah bila tanpa diiringi dengan kesadaran masyarakat.

Mampukah Jakarta memikul beban banjir? Mampukah Jakarta mengubah pola pikir masyarakat? Semoga.

Penutup

Luas wilayah Jakarta tidak bertambah namun jumlah penghuninya yang bertambah.  Ruang yang disediakan ada dalam hitungan yang tetap namun jumlah yang memanfaatkannya  terus bertambah. Kenyataan tersebut tentunya membutuhkan penataan. Membutuhkan alokasi ruang yang efektif dan efisien.

Beban yang tidak kalah berat adalah pengimplementasian dari hasil penataan ruang yang ada. Bagaimana agar upaya perencanaan yang  ada dapat diimplementasikan, diaplikasikan, dan diwujudnyatakan.

Beban-beban yang diuraikan di atas, hanya sebagian saja. Masih banyak beban lainnya yang tidak terungkapkan dan masih membutuhkan penanganan. Tapi jangan pesimis dulu. Tetap semangat. Ini bukan akhir segalanya. Mari kita tetap menatap hari esok dengan optimis. Mari kita bantu Jakarta untuk meringankan bebannya.

DIRGAHAYU KOTA JAKARTA…..  

Outbond Holic Ancol: Serasa Outbond Milik Pribadi

Tidak usah mengingkari kenyataan dan memungkiri realita. Harus diakui. Hari baik sangat mudah diidentifikasi. Ditemukenali. Dengan kasat mata dapat dicari dan dinanti. Hari baik tidak perlu hitungan yang jelimet, yang ruwet, dan yang membuat pusing sembilan keliling. Hari baik adalah…. HARI LIBUR. Cukup lihat kalender, cari tanggal yang berwarna merah. Itulah hari baik. Namun perlu dicatat, walaupun ada hari baik, tidak ada satupun hari yang buruk. Ingat itu. Camkan. Resapi. Hayati. Supaya semangat tetap terjaga.

Hari libur tentunya sangat dinanti, ditunggu, dan diharap. Entah oleh orang tua, apalagi anak-anak. Tibalah saat yang dinanti. Hari baik mampir juga. Walau hanya sehari. Namun tetap harus diapresiasi. Dimanfaatkan. Diberdayagunakan. Agar memiliki arti. Memberi kesan. Menggoreskan kenangan.

Tanggal 6 Juni 2013 termasuk salah satu hari baik, karena berwarna merah. Anak-anak tidak menuntut hal yang berlebih. Cukup sederhana dan masih wajar untuk direalisasikan. Diwujudnyatakan. Dikabulkan. Anak-anak hanya meminta untuk bersepeda. Ancol jadi pilihan. Ini bukan kali pertama bersepeda di Ancol. Ecopark Ancol memang memiliki daya tarik tersendiri bagi anak-anak. So, Let’s go.

Empat sepeda termuat di mobil. Sengaja memboyong sepeda sendiri supaya lebih puas. Usai keliling-keliling dan pusing-pusing di Ecopark dengan sepeda, anak-anak melihat arena outbond. Letaknya masih satu area. Di Ecopark juga. Begitu melihat ada arena outbond, kedua anak kompak berseru, “MAU….!!!”. Ya sudah. Tidak perlu semboyan Tut Wuri Handayani, karena tanpa dorongan dari belakang pun anak-anak sudah berkehendak. Ini bukan kali pertama bagi mereka ikut outbond. Sudah berkali-kali, tapi dengan teman-teman sekolahnya. Tidak bersama kami. Niat awal untuk bersepeda ternyata mendapatkan bonus. Outbond.

Baru tahu kalau ternyata Ancol juga punya outbond. Namanya Outbond Holic Ancol. Mungkin sudah lama juga, hanya kami baru menyadarinya. Baguslah. Supaya kita tidak perlu jauh-jauh kalau hanya untuk outbond. Ancol juga bisa memenuhi. Dekat dengan rumah di Senen. Tidak seperti sebelumnya yang harus keluar kota demi memuaskan hasrat beroutbond ria.

Kesan pertama ketika memasuki area outbond adalah kesan teduh, adem, sejuk, nyaman, karena banyak pohon besar dan rindang. Salut. Bravo. Layak dapat acungan jempol. Coba tidak hanya di Ancol saja teduh ini terasa. Jakarta pasti jauh lebih nyaman. Lebih livable. Lebih layak huni. Walau tidak cukup hanya itu saja indikatornya. Namun timbul pertanyaan-pertanyaan susulan, “Kok sepi ya…? Sudah bukakah…? Atau libur juga..? Kok hanya ada beberapa penjaga saja…? Kemana pengunjung lainnya…?”. Anak-anak sudah membulatkan tekad, untuk tetap meneruskan keinginan. Ayo kita tanyakan. “Bisakah kita main?”. Ternyata jawabannya boleh. Hanya memang kebetulan kita datang terlampau pagi, jadi masih sepi.

….dan petualangan akan segera dimulai….

Dua tiket seharga Rp. 80.000,- per anak telah digenggam. Anak-anak dengan semangat dan tanpa ragu langsung menghampiri penjaga. Geli sendiri. Mereka hanya berdua, namun digerumuti, dikerubungi banyak petugas atau pendamping, atau pemandu. Entah apalah sebutannya. Mungkin inilah keberuntungan kami karena datang kepagian. Dilayani secara berjamaah. Bersama-sama.

Peralatan dan pengaman langsung dipasang. Keramahan pemandu langsung terasa. Dengan ramah mereka menyapa anak-anak. Mencoba lebih akrab. Walau yang harus dilayani hanya dua anak saja. Mungkin itulah pelayanan standar yang harus mereka terapkan. Harus diapresiasi. Diberikan penghargaan. Diucapkan terima kasih. Dan itu dengan tulus telah anak-anak lakukan.

titian tambang

Titian tambang. Meniti di atas tambang

Petualangan dimulai. Penjelasan dari petugas pemandu telah disampaikan dengan baik kepada anak-anak. Anak-anak telah mengerti dan memahami. Sederhana kok. Mudah dilakukan. Mungkin juga karena ini bukan kali yang pertama bagi mereka. Walau bukan di Ancol. Tapi kurang lebih sama.

Area outbond anak-anak berbeda dengan area outbond untuk dewasa dan ternyata memiliki sesuatu yang menurut saya baik. Tali pengaman untuk anak-anak tidak perlu dilepas walaupun berganti-ganti rintangan. Tali pengaman tersebut tetap mengikuti sang anak.

Kembali apresiasi kami haturkan. Walau hanya berdua, tetap dilayani, ditemani, dan dipandu. Bahkan sepertinya kami mendapatkan pendampingan spesial, karena dari awal hingga akhir permainan, masing-masing anak ditemani oleh satu orang pemandu. Bahkan terkadang lebih. Sekali lagi ini mungkin hari keberuntungan kami, karena masih sepi, masih pagi. Sehingga serasa outbond milik pribadi. Kami, orangtuanya, tidak perlu terlalu mengawasi. Kami bisa lebih fokus untuk mengambil foto. Mengabadikan momen. Membingkai kenangan. Untuk dibawa pulang.

Permainannya sendiri kalau tidak salah terdiri dari empat jalur, mungkin berdasarkan tingkat kesulitan. Yang jelas ada jalur kuning, jalur hijau, jalur biru, dan jalur merah. Masing-masing jalur terdiri dari beberapa jenis permainan/rintangan.

titian pipa

Titian pipa. Meniti di atas gelondongan yang mirip pipa… 🙂

halang palang

Halang Palang. Perlu merunduk atau melangkah tinggi untuk melewatinya.

titian kayu

Titian Kayu. Meniti di atas balok-balok kayu

Saya tidak paham nama-nama permainannya. Dengan istilah sendiri, saya namai sendiri. Ada titian tambang. Maksudnya sang anak diberikan rintangan di atas titian tambang. Ada titian kayu. Maksudnya, sang anak wajib melampaui rintangan dan menitinya hingga garis akhir, di atas titian balok-balok kayu. Ada halang palang. Ini istilah sendiri. Maksudnya sang anak harus melalui palang-palang yang ditata secara diagonal sehingga perlu acara merunduk ataupun melangkah untuk melewatinya. Banyak pula jenis-jenis permainan lainnya. Misal jembatan goyang (shaking bridge) atau ada pula jalur yang memungkinkan sang anak untuk bertingkah seperti seekor monyet (monkey track), atau ada juga dinding yang harus dipanjat (climbing wall). Tidak ketinggalan jejaring laba-laba yang siap untuk dilalui serta yang paling asyik menurut mereka adalah flying fox nya. Di setiap zona pasti ada flying fox nya dengan jenis dan ketinggian yang berbeda.

meluncur

…dan meluncurlah dengan flying fox…

Tak terasa empat jalur telah terselesaikan semua. Semua pasti ada akhir. Semburat kepuasan terlihat di rona wajah anak-anak. Perjalanan harus berlanjut. Tapi kenangan tetap membekas. Meninggalkan kesan. Menorehkan jejak. Yang pasti tidak akan terlupakan oleh anak-anak. Di pintu gerbang terlihat serombongan anak-anak usia TK dan SD beserta orang tuanya masing-masing. Entah rombongan dari mana. Jumlahnya lumayan banyak. Ada sekitar 50 anak. Sekali lagi kami bersyukur. Kami beruntung datang lebih pagi sehingga tidak perlu antri. Mendapatkan pelayanan prima. Serasa outbond milik pribadi.

BBM : Benar – Benar Meresahkan

Rencana kenaikan harga BBM (atau “penyesuaian”, seperti katanya pemerintah) tidak hanya satu kali ini terjadi, Sudah berkali-kali. Sudah sering kali. Namun sepertinya setiap kali ada rencana kenaikan, energi yang dikeluarkan lebih banyak pada energi sosial (social cost). Rencana kenaikan harga BBM seakan menjadi komoditi yang seksi. Yang menjadi alat tawar bagi pihak-pihak tertentu. Demi kepentingan masing-masing. Kepentingan tertentu.

Haruskah setiap ada rencana kenaikan harga BBM gonjang-ganjing terjadi? Haruskah gejolak terwujud? Saya sangat setuju dengan pendapat salah seorang tokoh. Hanya saya lupa siapa. Energi yang dikeluarkan dalam kurun waktu rencana kenaikan, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan hasil/besaran dari kenaikan itu sendiri. Salah satunya bisa jadi dan sangat mungkin karena pucuk pimpinan kita selalu ragu, atau terlalu takut,  atau terlalu banyak pertimbangan, untuk mengambil keputusan.

Bisa dibayangkan. Berapa besar social cost yang harus dikeluarkan akibat demo, baik mendukung atau menolak, karena dampak rencana penyesuaian yang berlarut-larut. Belum lagi ditambah dengan social cost yang dikeluarkan pasca penyesuaian.

Saya tidak anti kenaikan harga BBM. Setuju malah. Hanya saja menyayangkan, mengapa untuk membuat keputusan ini saja, masyarakat harus dibuat terombang-ambing. Dibuat galau. Dibuat resah. Benar-benar Meresahkan. Mungkin karena seksi itu tadi.  Walau kenaikan harga belum terjadi, media banyak memberitakan kenaikan harga bahan pokok. Salah siapa?

Yang tidak kalah penting adalah supaya masyarakat lebih dapat menghargai energi fosil. Tidak membuangnya dengan percuma. Memang seperti lingkaran yang tidak ada putusnya. BBM murah, lonjakan jumlah kendaraan bermotor terjadi. Kemacetan melanda. Berapa BBM yang terbuang percuma?  

Tidak dapat dipungkiri, energi merupakan kebutuhan pokok bagi manusia. Selayaknya, sewajarnya, dan seharusnya, BBM yang berasal dari fosil seperti bensin, solar/diesel, dll) memang dipatok dengan harga tinggi. Tanpa subsidi. Saya tidak berbicara tentang lainnya. Tapi lebih pada karena memang energi fosil suatu saat akan habis.  Tidak dapat diperbaharui.  Bahkan menurut para ahli, jika pola penggunaan masih seperti sekarang, cadangan minyak ini akan habis dalam dua dekade mendatang.

Sudah saatnya kita beralih pada sumber energi yang lebih ramah. DI sekitar kita banyak bertebaran energi terbarukan (renewable energy). Sangat berlimpah dan tidak akan ada habisnya. Tinggal bagaimana cara kita memanfaatkannya. Menjadikannya berguna. Energi matahari (solar system), energi angin, energi nuklir, energi air, energi panas bumi, energi biomassa, dan seterusnya, dan sebagainya. Subsidi lebih baik jika diterapkan untuk energi terbarukan dan bukan untuk energi fosil.

Yang dibutuhkan adalah keberpihakan. Yang dibutuhkan adalah kebijakan penuh terkait dukungan terhadap pengembangan energi berkelanjutan. Tidak setengah hati. Ataupun anget-anget tai ayam. Hanya gencar di awal saja, setelah itu dibiarkan sendiri. Dibutuhkan dukungan seluruh jajaran pemerintah tingkat atas maupun di bawahnya. Tidak hanya 1 atau 2 menteri saja. Perlu pengeroyokan. Perlu keseriusan. Perlu totalitas.

Kebutuhan akan energi tidak mungkin berkurang. Pasti selalu bertambah. Selain karena pertambahan penduduk, juga akibat pola penggunaan dan gaya hidup modern yang banyak membutuhkan energi. Kebijakan terkait renewable energy memang sudah banyak. Tapi gregetnya belum menggelegar. Belum membahana. Saya masih ingat. Ketika harga minyak dunia melesat naik, sekitar tahun 2005, presiden gencar mendorong pengembangan bahan bakar nabati. Keluarlah blueprint pengelolaan energi melalui PP No. 5 tahun 2006. Lalu muncul Inpres No. 1 tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai bahan bakar lain. Namun setelah itu, dapat dikatakan melempem. Tidak terlalu bersuara. Maaf, kalau boleh dikatakan, masih lebih didominasi oleh retorika. Benar – Benar Meresahkan. Semoga tidak terlalu lama lagi.

Sepeda Motor dan Lampu Merah

Sepeda motor dan lampu merah. Pasangan yang selalu hadir. Paduan yang senantiasa ada. Menemani. Menghampiri. Di setiap sudut Jakarta. Suka atau tidak suka. Aman atau tidak aman. Nyaman atau tidak nyaman. Itulah kenyataan. Fakta yang terjadi. Tanpa bisa dihindari. Tak kenal waktu.

Motor dan Lampu Merah.
Sumber foto: kompas.com

Lampu merah belum berganti. Belum menghijau. Atau pun sekedar menguning. Puluhan motor, bahkan bukan mustahil ratusan untuk lampu merah di jalan utama, telah bersiap. Bahkan berkeinginan untuk mencuri start. Seakan tak sabar menggapai garis finish. Semoga finishnya bukan di Rumah Sakit. Apalagi di alam lain. Amit-amit. Jangan sampai. Tapi terkadang itulah kenyataan. Kadang harus terjadi. Menjadi seperti arisan nyawa. Tinggal menanti giliran siapa, yang mana, dan kapan. Amit-amit. Jangan sampai.

Berdasarkan data yang ada, walau hanya saya dapat dari hasil googling, sangat mencengangkan. Membuat decak kagum. Inikah pertumbuhan ekonomi? Atau “the power of Kepepet?” Mungkin mereka pun tidak semua murni berkehendak, berkeinginan, untuk berkendaraan sepeda motor. Hanya karena tidak ada pilihan lain. Pasti banyak yang karena keterpaksaan. Ketidakberdayaan. Ketika angkutan publik tidak dapat mengakomodir. Mengatasi. Memberi solusi. Karena kepepet, akhirnya mereka memutuskan. Mengambil keputusan. Lebih baik bermotor ria. Walaupun terkadang pula dengan alasan sebagai kebanggaan. Simbol keberhasilan seseorang.

Kata Om Google, jumlah motor di Jakarta sudah melebihi jumlah penduduk Jakarta, yaitu hampir 10 juta kendaraan. Bahkan bertumbuh sekitar 1.000 perhari. How come? Itulah Jakarta. Tingkat kecelakaan tertinggi pun dimenangkan oleh pengendara motor. 70 % dari total kecelakaan. Di Jakarta, setiap hari 3-4 pengguna motor tewas. Ini sumbernya dari Bapak Joko Setijowarno, pakar transportasi. Kapok kah? Hati mengkerut? Menjadi takut? Ternyata tidak.

Buktinya, pengendara sepeda motor layaknya semut. Menyemut. Menjadi seperti semut. Di seluruh penjuru Jakarta. Tercetus alasan lain. Motor lebih efektif, lebih efisien, untuk mensiasati kemacetan Jakarta. Bisa nyelip-nyelip.  Area selebar setengah meter pun menjadi sangat berarti. Bahkan dapat merambah ke ranah trotoar. Ranahnya pejalan kaki. Tanpa rasa bersalah. Walau sadar itu melanggar.

Motor pun dengan leluasa mengokupasi trotoar, jalur pejalan kaki

Sebenarnya saya setuju dengan beberapa beberapa solusi untuk mengatasi kemacetan Jakarta. Rencana penyediaan akses transportasi publik yang nyaman dan terjangkau bagi warga, itu perencanaan yang baik. Monorail, MRT, pembenahan busway, kopaja, metromini. Itu usaha yang baik. Begitu juga dengan mobil pribadi. Ada upaya pembatasan, pengaturan. Konsep 3 in 1, walau sangat tidak berhasil, tetap patut diakui. Rencana pengaturan dengan semacam “denda” seperti hal nya di Singapura dengan ERP (Electronic Road Pricing), juga OK. Mobil pribadi bila masuk kawasan tertentu, wajib bayar.

Tapi bagaimana dengan sepeda motor? Akan adakah pembatasan atau pengaturan tentang sepeda motor? Akan adakah pembatasan jumlah sepeda motor yang boleh beredar di Jakarta? Selama ini yang tercium justru hal-hal yang menguntungkan pengendara. Walau jelas itu pelanggaran. Sepeda motor dengan mudah dapat mengokupasi jalur. Berada di garda depan. Masuk jalur busway. Bisa merambah trotoar tanpa kemampuan polisi atau hukum atau sanksi untuk menjamahnya. Bila harga transportasi publik masih belum terjangkau, masih belum terintegrasi dengan angkutan publik lainnya, motor tetap jadi pilihan primadona. Pilihan strategis dan memungkinkan. Favorit masyarakat kebanyakan.

Belum lagi ditambah jika BBM naik, sepeda motor tentunya bakal lebih populer, tambah naik daun. Seperti ulat yang selalu menggapai puncak demi pucuk muda. Kalimat terakhir, itu kata iklan. Tentunya karena sepeda motor jelas lebih hemat BBM. Kebijakan ERP pun sepertinya tidak berlaku bagi sepeda motor.

Ditambah pula dengan kemudahan akses pembelian motor. Skema kredit yang ramah sangat. Pajak yang relatif murah. Perparkiran yang mendukung. Dan sebagainya. Dan seterusnya. Jadi.. sepeda motor tetap akan bertahan di jalanan ibukota. Akan tetap merajai. Sebagai juara.

Catatan :

Saya bukan warga yang anti kendaraan roda dua. Saya pun terkadang pengguna kendaraan roda dua ini. Walau hanya membonceng suami. Tak berani sendiri. 😀

CD dan DVD Bajakan : Life Style?

Secara jujur, terbuka, tanpa tedeng aling-aling, tanpa munafik, tanpa berbohong. Saya mengaku. Saya termasuk warga yang juga turut menikmati CD dan DVD Bajakan. Ada beberapa CD dan DVD Bajakan di rumah. Tidak beberapa. Berberapa-berapa. Jumlahnya tidak usah disebut lah. Tidak etis. Akan kah saya diperkarakan? Dipidanakan? Atau diperdatakan? Saya bukan ahli hukum. Tapi dengan sangat sadar. Tahu bahwa itu salah. Tapi tetap tergoda untuk melakukan. Melanggar. Mendobrak rambu-rambu. Semoga setelah tulisan ini muncul, tidak membuat saya diperkarakan. Dipermasalahkan. 😀 .

Mengapa demikian? Ada begitu banyak alasan. Alasan untuk pembenaran. Permakluman. Permintaan untuk dipahami. Permohonan untuk dimengerti. Walau tetap itu salah. Tetap tidak dapat dibenarkan. Sangat kontradiktif memang. Namun demikianlah adanya.

Perkembangan serta kemajuan teknologi dan sistem informasi teknologi sangat berdampak. Sangat signifikan. Terhadap segala bidang kehidupan manusia. Terhadap life style kita. Gaya hidup kita. Inikah salah satu alasan permakluman? Bisa jadi. Sangat mungkin. Sangat masuk akal. Sangat simpel.

Deretan CD/DVD dikategorikan menurut genre film, aktor/aktris, new release, dsb

 Jaman telah bergeser. Dunia telah move on. Life style baru telah terbentuk. Tidak bisa dibilang terlalu baru juga. Toh sudah berlangsung lama. Gaya hidup pemindahan theatre ke dalam rumah tengah berlangsung. Pemindahan ruang publik menjadi ruang privat telah mendapat porsi. Turut mempengaruhi, memberi warna. Kita tak perlu bersusah payah pergi ke tempat lain. Tidak perlu selalu harus ke ruang publik hanya untuk menikmati suatu tontonan. Kalau kita tidak sempat atau tidak ada waktu untuk pergi ke mall, biarlah mereka yang kita pindahkan ke rumah. Walau tetap harus diakui. Tentunya ada rasa yang berbeda. Ada suasana yang lain. Ada kesan yang tidak sama. Antara menonton di rumah dengan menonton atau menikmati di sebuah gedung theatre.

Itu tidak serta merta menghilangkan kebiasaan menonton di theatre. Buktinya theatre tetap ramai. Tetap diminati. Dinanti. Untuk sebuah …. Lagi-lagi…. Life style. Namun mengurangi frekwensi kunjungan. Atau bisa jadi malah menambah kuantitas/frekwensi menonton. Jika dulu hanya menonton di ruang publik, sekarang bertambah dengan menonton di rumah.

Mengapa ? Dengan hanya bermodalkan Rp. 5.000,- saja CD telah berpindah tangan. Dengan bermodal Rp. 15.000,- saja, sebuah DVD telah dapat dinikmati. Ada pula hal yang menarik. CD dan DVD soft ware program pun tak kalah mudah untuk didapatkan. Sebut saja sebuah nama program. Penjaga tokonya dengan senang hati menuntun kita ke tempatnya. Membantu memilihkan. Mengecekkan. Mencobanya terlebih dahulu. Bahkan dengan embel-embel, jika tidak berfungsi, dapat ditukar.Sebuah kemudahan yang absolut. Namun untuk CD atau DVD program, dipatok harga yang lebih mahal, Rp. 35.000,-. Dan rata-rata sebuah program dibuat menjadi 2 DVD. Taktik dagang? Strategi penjualan? Bisa jadi. Tapi tentunya tetap dengan harga yang lebih murah dibandingkan jika membeli secara resmi. Yang asli.

Deretan CD/DVD : Kemudahan mencari, diutamakan. Tak usah khawatir, ada petugas yang akan membantu.

 Atas nama kemajuan teknologi pula, seseorang dapat dengan mudah menggandakan suatu karya intelektual tanpa harus meminta ijin dari pemegang hak cipta. Kemajuan teknologi semakin mempermudah proses pembuatan atau penggandaan cakram optic. Tanpa mempertimbangkan hak-hak yang dimiliki oleh pihak yang memang memiliki royalti atas sebuah hasil karya. Tanpa memperhitungkan intellectual property rights nya.

Saat ini, pemberantasan pelanggaran hak cipta tersebut bukannya tanpa upaya. Undang-Undang tentang Hak Cipta telah diterbitkan, yaitu Undang-Undang No. 19 tahun 2002.  Namun yang jadi masalah, belum sepenuhnya dipatuhi. Belum seratus persen ditaati oleh masyarakat. Bahkan 40 % pun belum. Terkadang termasuk saya. Keberadaan undang-undang tersebut memberikan dimensi tugas bagi Kepolisian dalam upaya melakukan penegakan hukum tentang Perlindungan Hak Cipta. Harus ditambah dengan bangkitnya kesadaran masyarakat untuk menghentikan pembelian CD/DVD bajakan. Saya bertanya pada diri. Mampukah? Hihihi… Ada kontradiksi kembali.

Pemberantasan bukan tanpa upaya sama sekali. Namun kadang terkesan setengah hati. Menurut pemilik toko, razia sering dilakukan. Sekarang sudah banyak kios/toko CD dan DVD bajakan yang gulung tikar. Namun ada kios/toko yang masih bertahan. Mengapa ? Jawaban pemilik toko, “Sampai saat ini bisa diatasi”. Maksudnya? Silakan artikan sendiri.

Yang jelas, perlu penuntasan pemberantasan dari hulu hingga hilir. Dari produsen kelas kakap hingga pengecer kecil di kaki lima. Termasuk propaganda tentang Hak Cipta dan pembangkitan kesadaran masyarakat. Ah itu kan Teori.  Selalu lebih mudah dibandingkan realisasi.  Saya tidak mau sok tahu… Buktinya…saya sendiri tak berdaya akan godaannya… Dan beberapa DVD pun berpindah tangan….Alasan pembenaran: untuk mengisi liburan anak-anak….wkwkwk..