Garuda Indonesia: Bantulah Kami Meraih Mimpi (Pengalaman Terbang Bersama Garuda Indonesia)

Pagi masih buta dan mentari pun masih malu-malu untuk menampakkan diri. Tidak demikian halnya dengan manusia dan kendaraannya di Jakarta. Mereka tidak pernah mengenal kata malu untuk memulai hari, untuk memulai aktivitas. Jalanan menuju Bandara Soekarno-Hatta sudah sangat merayap. Denyut kota sudah sangat terasa. Kalau sudah begini, detakan di dada turut meningkat secara pasti.

Berbekal kode booking, langsung menuju counter Garuda Indonesia. Print selesai, lanjut check-in. Walau bukan kali pertama mengalami hal seperti ini, tetap tercetus,  “WOW..!”. Inikah salah satu indikator pertumbuhan ekonomi Indonesia? Inikah salah satu simbol kemajuan? Jawabannya bisa saja iya, walaupun tidak pula setuju sepenuhnya. Antrian sudah seperti lagu anak-anak : Ular naga panjangnya bukan kepalang….

Keberuntungan pertama hadir menghampiri. Untung kartu Garuda Frequent Flyer Gold (GFF Gold) ada di kantong. Walau tetap antri, minimal lumayan, masih ular kecil, belum seperti ular naga yang panjangnya bukan kepalang. Nyaris saja. Sebenarnya, Garuda Indonesia telah memberikan beberapa kemudahan terkait dengan “check-in”. Kita bisa melakukan City Check-in di kantor-kantor cabang Garuda Indonesia, baik domestik maupun internasional.  City check-in dapat dilakukan mulai dari 24 hingga 4 jam sebelum waktu keberangkatan. Kita juga dapat memaksimalkan fasilitas Web Check-in sebagai alternatif yang disediakan oleh Garuda Indonesia untuk mempermudah proses check-in, walau saat ini hanya dapat digunakan untuk penerbangan domestik saja.

Executive Lounge Garuda Indonesia di Bandara Soekarno Hatta
Sumber : http://www.garuda-indonesia.com

 Sayang dalam penerbangan kali ini tidak dapat menikmati fasilitas executive lounge yang selayaknya merupakan hak pemegang kartu GFF Gold. Memang selalu demikian, selalu nyaris berdekatan dengan waktu boarding. Sebagai informasi, terdapat beragam fasilitas yang ditawarkan executive lounge, antara lain business center, wireless internet connection, refreshing area, reflexology machine, shower, nursery room dan ruang beribadah. Di executive lounge  juga kita dapat menikmati beragam menu makanan dan minuman terutama variasi makanan khas Indonesia.

Mata tertuju ke arah kabin, tepatnya ke arah nomor yang tercantum di kabin, berusaha mencari tempat duduk. “Kok sudah ada orangnya?”. Kembali melirik boarding pass, benar, nomornya memang itu, tidak salah. Dengan sopan, setidaknya menurut versi saya, mencoba bertanya, “Mohon maaf, Ibu duduk di nomor berapa?”. Hanya itu dan tidak lebih, tidak juga kurang. Namun reaksi si Ibu di luar dugaan. “Kenapa? Saya duduk di sini, di nomor ini. Tidak percaya? Apa saya sebodoh itu, sehingga salah mencari tempat duduk? Apa saya terlihat seperti orang yang baru pertama naik pesawat? Lihat boarding pass saya, benar kan?”. Lho kok sewot ? Ah, mungkin Ibu itu sedang menghadapi banyak persoalan, banyak permasalahan. Tetap berusaha berpikir positif.

Sebenarnya masih banyak rentetan pembelaan si Ibu tadi, atau lebih tepatnya berondongan. Namun tidak terekam dengan baik dan saya pun kurang tertarik. Pertanyaan satu kalimat yang saya  ajukan ternyata berbalas beragam pertanyaan pula. Seketika suara Ibu itu mengundang perhatian penumpang lainnya. Hmmm malu juga.

Seorang pramugari segera menghampiri. Dengan ramah, mencoba mengecek kedua boarding pass. Ternyata memang memiliki nomor tempat duduk yang sama. Jadi memang tidak ada yang salah antara ibu itu dan saya.

Pelayanan di kelas bisnis Garuda Indonesia
Sumber : http://www.hariansumutpos.com

Inilah keberuntungan kedua saya. Pramugari meminta maaf atas kesalahan yang terjadi dan mempersilakan saya untuk menempati tempat duduk di kelas bisnis yang kebetulan tak berpenghuni sebagai pengganti. Coba Ibu tadi lebih ramah, tidak perlu bernada tinggi, mungkin keberuntungan menikmati tempat duduk di kelas bisnis menjadi miliknya. Dan keberuntungan itu telah menjadi milik saya, sebagai imbalan dari sikap tetap sabar. Orang sabar memang disayang Tuhan. Walau saya pun terkadang tergolong orang yang sulit untuk sabar.

Saya selalu memesan kelas ekonomi karena memang mampunya begitu dan jatah dari sang pemberi tugas demikian adanya. Namun, peristiwa “dipindahkan” ke kelas bisnis telah dua kali saya alami. Hanya saja, kali yang pertama  tidak harus terlebih dahulu mendengarkan berondongan pertanyaan seorang Ibu. Fasilitas di kelas bisnis tentunya lebih lengkap dan lebih baik jika dibandingkan dengan kelas ekonomi. Walau jujur, saya lebih suka di kelas ekonomi. Rasanya canggung juga senantiasa dilayani dan dinomor satukan. Itu menurut pendapat saya.

Masih banyak pengalaman yang dialami bersama Garuda Indonesia. Yang paling berkesan dan yang paling ditunggu adalah terbang gratis dengan point reward GFF. Garuda Indonesia memberikan reward bagi para pengguna setianya. Setiap terbang menggunakan Garuda Indonesia, pemilik kartu GFF berhak untuk mendapatkan dan mengumpulkan mileage. Sejumlah mileage akan diperoleh setiap kali terbang pada eligible flight dan/atau bertransaksi dengan partner Garuda Indonesia dalam program GFF. Perhitungan Award Miles adalah Tier Miles ditambah mileage lainnya (bonus, promo, transfer, dll). Award Miles dapat ditukarkan dengan Award Ticket, Upgrade Award atau Award lainnya. Tidak usah khawatir, Award Miles akan terus terakumulasi selama keanggotaan aktif, dan akan hangus ketika keanggotaan dihentikan.  Award Miles inilah yang telah saya gunakan untuk terbang Jakarta-Bali pp, GRATIS, bulan Maret 2013 yang lalu. Saat ini jumlah miles yang saya miliki telah cukup untuk melakukan perjalanan gratis kembali. Senangnya. Tinggal cari waktunya dan kumpulkan sangunya.

Ada pengalaman terbang yang menyenangkan, tentunya ada pula pengalaman terbang yang tidak mengenakkan. Harus pula disampaikan supaya berimbang dan lebih adil. Pengalaman delayed ? Pasti telah dialami dan itu tidak menyenangkan. Hanya satu yang patut dipuji. Untuk delayed  yang terjadi, Garuda Indonesia pasti memberikan kompensasi. Entah itu hanya berupa snack, makanan, hingga penginapan gratis. Namun tetap tidak mengenakkan, karena tentunya konsumen dirugikan. Kerugian mencakup rugi waktu, acara tertunda, bahkan kemungkinan batal sama sekali. Semoga ini makin dapat direduksi dan bila mungkin, dihilangkan sama sekali.

Pengalaman tidak menyenangkan lainnya adalah keadaan tanpa informasi, kondisi tanpa pemberitahuan yang pasti. Kala itu, Informasi terakhir hanya diterima saat akan boarding. Penumpang dipersilakan untuk menaiki pesawat. Namun setelah berada di dalam pesawat hingga hampir satu jam, tidak kunjung take off. Penumpang dibiarkan menunggu di pesawat tanpa pemberian informasi tentang peristiwa yang tengah terjadi. Penumpang dibiarkan bertanya-tanya. Usut punya usut, ternyata penyebabnya adalah kondisi bandara yang tengah sibuk sehingga memaksa pesawat untuk antri baik take off maupun landing. Dari jendela pesawat terlihat ada pesawat yang terus berputar-putar, menunggu ijin mendarat. Di landasan terlihat pula beberapa pesawat yang antri untuk terbang. Yang disayangkan dan disesalkan, mengapa tanpa pemberian informasi, tanpa penjelasan?

Pengalaman yang tidak menyenangkan tidak menyurutkan niat untuk terbang bersama Garuda Indonesia. Garuda Indonesia tetap menjadi pilihan utama. Garuda Indonesia tetap menjadi andalan.  Tetaplah terbang Garuda Indonesia. Bantulah kami untuk meraih mimpi.

Masihkah Mereka Punya Mimpi?

Sabtu siang, tanpa rutinitas kerja, memang waktu yang paling tepat untuk menuntaskan kepentingan yang malas dilakukan di hari kerja. Siang tadi, bergeraklah kami, saya dan suami, ke Senen dan Pasar Baru. Tujuannya, selain urusan usahanya suami, juga beli dompet, tas, dan payung. Pengganti yang kejambret beberapa hari lalu. Belum bisa beli HP pengganti. Duitnya belum cukup. Masih ada list lain yang lebih urgent. Ah…sudahlah, saya tak ingin bercerita tentang peristiwa tas melayang. Terlalu menyesakkan. Menyedihkan. Memasgulkan hati. Berhenti meratap. Berusaha ikhlas. Sabar. Melepaskan. Merelakan. Tuhan pasti ganti.

Pulang Pasar Baru, lewat Stasiun Juanda. Tepatnya di samping stasiun Juanda. Terpampang kenyataan. Inilah Jakarta. Kota Metropolitan. Walaupun lebih layak dijuluki Kampung Besar. Karena walaupun kota namun masih berbudaya kampung. Kota yang senantiasa menarik bagi orang yang ingin mengadu nasib. Mengais rejeki. Menaruh asa dan cita. Ketika kota dan desa lain di pelosok tidak mampu memenuhi. Tidak mampu memberi harapan.

Masih kah mereka punya mimpi ?

 Terlintas di benak. Nyaman sekali tidur mereka. Padahal di siang hari yang ramai. Tak terusik sedikitpun. Pun oleh bunyi kereta lewat. Oleh ramainya tukang ojek dan pedagang kaki lima. Atau deru kendaraan yang lalu lalang. Ini lah Jakarta. Mereka telah mampu beradaptasi. Menyatu dengan lingkungan. Harmoni dengan sekitar.

Mungkin mereka tengah bermimpi. Tentang masa depannya. Atau tentang mainan idamannya. Atau tentang makanan kesukaannya. Tentang es cream. Tentang peri penjaganya. Atau tentang cita-citanya. Mungkin juga tanpa mimpi sama sekali. Entahlah. Tapi saya masih berharap, mereka masih punya mimpi. Paling tidak.…masih berani bermimpi. Karena mimpi dapat diwujudkan. Direalisasikan. Diwujudnyatakan. Berani bermimpi berarti masih punya cita. Masih punya harapan.

Kegiatan rumah tangga tetap terselesaikan dalam satu tempat. Btw… peralatan mencucinya lengkap sekali.

Tak jauh dari tempat mereka tidur, terlihat sang bunda. Sedang mencuci. Mungkin inilah waktu yang tepat baginya untuk mencuci. Ketika anak-anak tengah terlelap. Bermimpi. Dan sang bunda berusaha mewujudkannya. Mewujudkan mimpi anak-anaknya. Atau mungkin juga mimpi-mimpinya sendiri. Saya harap, sang bunda pun masih berani untuk bermimpi.

Teringat tadi di kios penjual dompet. Saya ragu memilih antara dompet yang bahan dan coraknya lebih manis juga bagus dan dompet yang secara fungsi lebih cocok. Banyak tempat kartunya. Itu saja sudah membuat bingung. Dan saya pilih yang kedua. Pilihan sang bunda tentunya berbeda dengan saya. Dia tidak perlu bingung memilih dompet. Dia punya mimpi yang lain. Pilihan yang lain. Dia mungkin tak perlu repot memilih dompet, yang hanya kemasan. Dia mungkin lebih fokus pada bagaimana mencari isinya. Untuk mewujudkan mimpinya dan mimpi anak-anaknya. Walaupun, itu juga saya alami. Bagaimana mencari isi dompetnya. Untuk mengganti HP yang hilang…. Heuh…. Keikhlasan tetap membutuhkan waktu.

Terlintas buku yang pernah dibaca dan masih tersimpan hingga kini. Buku “Kota Tanpa Warga”, tulisan Pak Jo Santoso. Mungkin ini juga salah satu alasan mengapa Jakarta masih layak diberi label Kampung Besar. Menurut Jo Santoso, bagi masyarakat yang tinggal di kampung, bekerja dan bermukim (working and living) adalah dua hal yang terintegrasi. Mereka tinggal di emperan. Tidur di emperan. Seluruh kegiatan rumah tangga dilakukan di emperan. Bekerja pun di emperan. Atau, kalau pun tidak di emperan, di sekitar emperan. Sang istri mencuci, suami memilah sampah. Tak jauh dari lokasi anak-anak tidur.

Warga yang lain pun tak sungkan bercengkrama. Di warung. Tepat di sebelah gunung sampah. Tak ada rasa canggung. Tak ada rasa risih. Tak ada rasa jijik. Semua berjalan seirama. Selaras. Tak terusik apapun. Suatu paduan yang aneh. Pemandangan yang ganjil. Tapi itu menurut orang lain. Belum tentu menurut mereka.

Tidak terusik.gunung sampah. Paduan yang aneh.

Ruang yang mereka gunakan merupakan ruang publik. Secara keseluruhan, terlihat ketidakberdayaan pemerintah dan warganya untuk menegakkan konsensus bersama atas “ruang publik”. Ketiadaan kesepakatan mengenai apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan di ruang publik. Ketidakberdayaan  pengaturan yang jelas mengenai penggunaan ruang publik yang seharusnya di bawah pengaturan dan pengelolaan pemerintah. Tapi mungkin juga lebih banyak pada ketidakberdayaan warga. Ketiadaan pilihan. Kepasrahan. Mungkin juga mereka telah merasa nyaman di sana. Toh kenyamanan adalah relatif. Siapa tahu ? Yang penting, mereka masih punya mimpi. Masih berani bermimpi. Kalau tidak ? Entahlah.