Dirgahayu Jakarta: Masih Mampukah Memikul Beban?

Hari ini, Jakarta berulang tahun, ulang tahun yang ke 486. Ditilik dari umurnya, Jakarta sudah sangat renta namun sekaligus juga kaya akan sejarah perjalanan. Di usianya yang telah uzur, masih mampukah Jakarta memikul beban? Masih mampukah menanggung beratnya desakan hidup? Masih mampukah memberi harapan bagi para penghuninya? Berikut  adalah beban-beban yang tampak jelas menghadang di depan mata.

Beban Jumlah Penduduk

Sumber : nasional.kompas.com

Merujuk pada catatan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, jumlah penduduk Provinsi DKI Jakarta per Nopember 2011 adalah 10.187.595 jiwa.  Jumlah yang sangat besar untuk luas wilayah yang hanya 650 km2. Dari kedua angka tersebut diketahui kepadatan penduduk Provinsi DKI Jakarta rata-rata 15.673 jiwa/km2. Jika kita mau lebih rinci lagi, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, dan Jakarta Selatan, masing-masing menempati kepadatan penduduk no 1 hingga no 3 di Indonesia, dengan kepadatan penduduk Jakarta Pusat yang mencapai 23.371 jiwa/km2. Bagaimana dengan Jakarta Timur dan Jakarta Utara? Tidak jauh berbeda, mereka tetap berada di 10 besar kota yang berkepadatan tinggi, yaitu di urutan 7 dan 9. Hanya Kepulauan Seribu yang berbeda. Data tersebut tidak terlalu mengejutkan. Tidak terlalu mencengangkan karena sudah bisa ditebak.

Itu hanya hitungan jumlah penduduk secara resmi. Kalau kita mau lebih cermat, jumlah “penduduk siang” di Jakarta akan berbeda dengan “penduduk malam”. Jumlah di atas belum memperhitungkan beban yang harus dipikul Kota Jakarta pada siang hari. Jumlah tersebut belum mengakomodir jumlah penduduk di sekitar Jakarta yang menjadi Commuter. Tinggal di sekitar Jakarta namun bekerja dan mencari penghidupan di Jakarta. Sehingga jumlahnya akan lebih banyak lagi.

Coba bandingkan dengan kota-kota lainnya di luar Pulau Jawa. Kota Palu sebagai ibukota Provinsi Sulawesi Tengah hanya memiliki kepadatan penduduk 739 jiwa/km2 . Kota Palangkaraya yang merupakan ibukota Provinsi Kalimantan Tengah, yang sering diwacanakan sebagai alternatif ibukota negara, “hanya” memiliki kepadatan penduduk 71 jiwa/km2 saja. Kota Sorong di Papua Barat sana juga hanya memiliki kepadatan penduduk 132 jiwa/km2.

Jumlah penduduk Jakarta yang sedemikian besar bukan angka mati, yang tetap berada di angka tersebut. Kecenderungannya masih akan bertambah. Jakarta tetap dipandang sebagai pabrik gula yang selalu mengundang semut untuk mendatangi. Bagi sebagian besar orang yang berada di luar Jakarta, Jakarta tetap dipandang sebagai tempat untuk mewujudkan harapan dan cita. Tidak perlu razia KTP yang selalu dilaksanakan setiap habis Lebaran, karena bukan itu solusinya. Jakarta bukan Kota yang dapat berdiri sendiri dan memecahkan permasalahannya sendiri. Tanpa pembukaan keran harapan di daerah asal, tanpa pembukaan lapangan pekerjaan di wilayah asal, tanpa pembangunan dan penyediaan sarana dan prasarana di perdesaan, kita tidak bisa mencegah mereka datang.

Lepas dari solusi komprehensif terhadap permasalahan yang ada, so what? Apa artinya angka-angka tersebut? Jumlah penduduk yang besar dengan kepadatan yang tinggi tentunya menimbulkan konsekuensi. Tentunya membutuhkan pelayanan yang memadai. Membutuhkan sarana dan prasarana. Sudahkah Jakarta memenuhinya? Sudahkah Jakarta mengantisipasinya? Kecepatan pertumbuhan penduduk harus diimbangi dengan kecepatan penyediaan sarana dan prasarana pendukungnya.

Beban Lingkungan

Manusia hidup dan berkehidupan menyatu dengan lingkungannya, baik itu lingkungan alam maupun lingkungan buatan. Demikian pula hal nya dengan manusia yang tinggal di Jakarta. Jakarta bukannya tidak tak terbatas. Jakarta memiliki batasan. Ada hitungan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Sekedar menyegarkan ingatan, yang dimaksud dengan daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antarkeduanya. Yang dimaksud dengan daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk dan dimasukkan ke dalamnya.

Ada batas toleransi pengembangan dan pembangunan yang perlu ditegaskan untuk Kota Jakarta. Memang perlu diakui, manusia dengan karunia akal dan pikiran, dapat melakukan rekayasa teknologi terkait dengan pembangunan yang dilakukan. Manusia dapat mengatasi permasalahan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Namun, pada akhirnya, ada batasan yang tidak dapat dilampaui. Alam pasti akan menunjukkan keperkasaannya. Alam dan lingkungan akan menampilkan reaksi secara fisik.

Kita dapat menggunakan analogi kapal laut. Setiap kapal memiliki kapasitas dan kemampuan tonasi sebagai ambang batas kemampuan dan daya angkut kapal. Dengan rekayasa teknologi yang terus berkembang, tonasi sebagai ambang batas bisa saja bertambah. Namun begitu ambang batasnya terlampaui, kapal akan tenggelam dan karam. Begitu pula halnya dengan Kota Jakarta, ketika beban lingkungan yang dialami oleh Jakarta telah melampaui daya dukung dan daya tampungnya, Jakarta akan tenggelam, tanpa daya.

Masih terekam dalam ingatan, peristiwa amblesnya Jalan RE Martadinata di Jakarta Utara sedalam 7 m pada ruang sepanjang 103 meter dengan lebar 4 meter. Ini juga merupakan salah satu pertanda jalan tersebut telah memikul beban yang terlampau berat, melampaui kemampuannya untuk mendukung kegiatan di atasnya, untuk menampung aktivitas di atasnya.

Rob di Jakarta
Sumber : megapolitan.kompas.com

Beban lingkungan lain yang patut untuk diperhatikan adalah dampak yang dihasilkan oleh pemanasan global. Jakarta pun mengalaminya. Jakarta mengalami penurunan muka tanah dan kenaikan permukaan air laut. Penurunan muka tanah dan kenaikan air laut  berdampak pada meluasnya Rob atau banjir air laut. Tidak perlu terlalu jauh untuk membuktikannya. Jalan Pangeran Jayakarta di Jakarta Utara sebagai salah satu bukti. Walau tidak ada hujan, jalannya tetap tergenang, dan itu akibat rob. Rob atau dikenal pula dengan banjir laut adalah banjir yang menggenangi daratan yang lebih rendah dari permukaan air laut pada suatu daerah yang disebabkan oleh air laut pasang. Di jakarta, menurut data yang ada, pemanasan global telah mengakibatkan kenaikan air laut  5 hingga 8 milimeter setiap tahunnya.

Akankah Jakarta bertahan? Mampukah Jakarta memikul beban?

Beban Penyediaan Sarana dan Prasarana Transportasi Publik

Jakarta merupakan Kota Metropolitan. Untuk mewujudkan Kota Jakarta yang indah, sehat, nyaman, dan layak huni, masih dihadapkan pada permasalahan penyediaan pelayanan sarana dan prasarana publik yang memadai dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Jumlah penduduk yang besar dan jumlah commuter yang tinggi membutuhkan pemenuhan atas tuntutan ketersediaan sarana dan prasarana transportasi, khususnya transportasi publik.

Sumber : kompas.com

Konon katanya, saat ini Jakarta masih terkungkung oleh permasalahan kemacetan. Masalah klasik namun sangat membutuhkan penanganan segera. Ini masalah urgent dan sangat serius. Jika orang ditanya tentang bagaimana menggambarkan Kota Jakarta dalam satu kata, bukan tidak mungkin jika persentasi jawaban “Macet” akan menempati porsi yang tinggi. Walaupun saya tidak sepenuhnya setuju. Banyak yang dengan cepat menyimpulkan bahwa solusinya adalah penambahan jalan, pelebaran jalan. Itu memang solusi, tapi hanya sesaat. Terkadang, bahkan seringkali, pemerintah menerapkan kebijakan yang keliru. Penambahan jalan dan penyediaan angkutan massal yang buruk dan tidak nyaman hanya akan mendorong masyarakat untuk memiliki mobil baru. Pemerintah harus memenuhi kebutuhan transportasi masyarakat. Masyarakat sebenarnya tidak membutuhkan jalan yang mulus dan lebar namun membutuhkan sampai ke tempat tujuan atau ke tempat aktivitasnya atau ke tempat kerjanya dengan aman, lancar, nyaman, dan tepat waktu.  Kemacetan di Jakarta disebabkan oleh pemakaian kendaraan pribadi yang berlebihan dan ini salah satunya sebagai akibat dari penyediaan angkutan massal yang tidak memadai, tidak aman, tidak nyaman, dan tidak tepat waktu. Kalau angkutan massal memadai, aman, nyaman, tepat waktu, tanpa pemaksaan pun, pemakai kendaraan pribadi akan beralih dan tidak akan macet.

Jumlah kendaraan pribadi yang melimpah ruah karena Jakarta tidak memperhatikan pengembangan angkutan umum. Kalau angkutan umum telah dibenahi keadaan tentunya akan lain. Masyarakat tentu akan cerdas untuk menentukan. Kalau angkutan umum lebih buruk dibandingkan dengan kendaraan pribadi, tentunya mereka tidak akan mau beralih.

Jokowi selaku panglima, pimpinan tertinggi Jakarta bukan tanpa upaya dan tanpa usaha. Namun perlu sumbangan dari seluruh lapisan warga untuk membantunya. Perlu sumbangan pemikiran dari para pakar, perlu sumbangan kesadaran dan dukungan masyarakat, perlu kontribusi swasta, dsb. Jokowi sudah tepat dengan lebih memilih membangun sarana transportasi massal dibandingkan dengan menambah jaringan jalan. Kita tidak perlu malu untuk belajar dari penyediaan atau pembangunan transportasi massal di kota lain yang telah menyediakan angkutan massal yang cepat dan murah. Tokyo misalnya, yang telah memiliki dan mengoperasikan kereta bawah tanah (subway) dengan pelayanan prima. Jadwal keberangkatan tepat waktu dan didukung ratusan armada.

Sebenarnya sangat sederhana, kemacetan dapat dikatakan kondisi yang dialami karena kebutuhan jauh lebih besar dibandingkan pemenuhan kebutuhannya. Demand lebih besar dari supply yang ada. Kebutuhan akan angkutan massal melebihi ketersediaan angkutan massal yang ada. Namun solusinya ternyata tidak semudah itu. Penggunaan kendaraan umum sebagai alternatif moda harus diimbangi dengan peningkatan kapasitas dan kualitas layanan untuk menarik minat warga. Pilihan angkutan massal yang sesuai telah banyak diwacanakan dan semoga segera direalisasikan, seperti Mass Rapid Transit (MRT), monorel, dan lainnya.

Masihkah Jakarta mampu memikul beban ini? Masihkah Jakarta menahan beban ini? Semoga.

Beban Banjir

Beban ini sebenarnya terkait sangat erat dengan beban lingkungan.  Beban ini sangat berhubungan dengan permasalahan lingkungan. Masalah banjir di Jakarta juga termasuk permasalahan yang rutin terjadi dan penanganannya pun rutin dilakukan. Sayang penanganannya terkadang hanya rutinitas sesaat. Hanya rutin ketika banjir telah terjadi atau hanya pada saat mau memasuki musim banjir.

Sumber : kompas.com

Permasalahan banjir belum juga dapat terselesaikan bahkan cenderung lebih parah. Sekarang kawasan yang terkena banjir atau paling tidak mengalami genangan cukup merata di seluruh wilayah Jakarta. Jumlah akses jalan yang terputus akibat banjir bertambah signifikan. Air dengan ketinggian beragam, dari hanya 10 cm hingga beberapa meter menggenangi jalanan ibukota. Banjir tidak pilih-pilih lokasi, mulai dari perkampungan hingga Istana Kepresidenan pun terkena. Inikah pemerataan? Bundaran Hotel Indonesia yang merupakan salah satu Landmark Kota Jakarta pun tak luput, terkena juga. Apa sebabnya?

Telah terjadi perubahan fungsi dan peruntukan ruang di Jakarta dan kota-kota yang terletak di hulunya. Perubahan besar telah terjadi pada ruang di Kota Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur, dan lainnya.  Resapan air hujan menjadi berkurang dan sesuai hukum alam, air dengan cepat mengalir ke dataran yang lebih rendah, ke kawasan di bawahnya.

Permasalahan tersebut diperparah dengan buruknya sistem drainase di Jakarta. Belum lagi ditambah dengan permasalahan ketinggian beberapa kawasan di Kota Jakarta yang bahkan lebih rendah dibandingkan dengan permukaan air laut. Saluran drainase yang seharusnya berujung di sungai atau laut, tidak sepenuhnya terlaksana. Fungsi waduk dan situ pun tidak optimal. Pendangkalan waduk, perambahan penduduk di area waduk, itu yang tengah dibenahi Jokowi dan Ahok saat ini. Jika optimal, waduk tentunya dapat menjadi cadangan air bersih di kala diperlukan.

Solusi terhadap permasalahan dan beban banjir tidak hanya cukup dilakukan melalui rekayasa teknis dengan membuat sodetan maupun gorong-gorong raksasa seperti yang sering diwacanakan. Yang tidak kalah penting dan seharusnya menempati porsi tinggi, adalah perlunya rekayasa sosial. Perlu mengubah pola pikir masyarakat. Ini penting dilakukan. Misalnya dengan mengubah pola pikir masyarakat yang masih menganggap bahwa sungai adalah tempat sampah besar. Sadar untuk tidak membuang sampah sembarangan. Sadar bahwa membuang sampah ke sungai merupakan salah satu penyebab banjir. Rekayasa teknis tidak akan menyelesaikan masalah bila tanpa diiringi dengan kesadaran masyarakat.

Mampukah Jakarta memikul beban banjir? Mampukah Jakarta mengubah pola pikir masyarakat? Semoga.

Penutup

Luas wilayah Jakarta tidak bertambah namun jumlah penghuninya yang bertambah.  Ruang yang disediakan ada dalam hitungan yang tetap namun jumlah yang memanfaatkannya  terus bertambah. Kenyataan tersebut tentunya membutuhkan penataan. Membutuhkan alokasi ruang yang efektif dan efisien.

Beban yang tidak kalah berat adalah pengimplementasian dari hasil penataan ruang yang ada. Bagaimana agar upaya perencanaan yang  ada dapat diimplementasikan, diaplikasikan, dan diwujudnyatakan.

Beban-beban yang diuraikan di atas, hanya sebagian saja. Masih banyak beban lainnya yang tidak terungkapkan dan masih membutuhkan penanganan. Tapi jangan pesimis dulu. Tetap semangat. Ini bukan akhir segalanya. Mari kita tetap menatap hari esok dengan optimis. Mari kita bantu Jakarta untuk meringankan bebannya.

DIRGAHAYU KOTA JAKARTA…..