Pekan Rakyat Jakarta di Monas Pestanya Rakyat Jakarta

Gambar

Mentari pada siang menjelang sore 11 Juni 2014 di kawasan Monumen Nasional tidak terlalu menampakkan kegarangannya. Sang raja siang masih sedikit bersahabat dan berbaik hati walau tetap belum cukup untuk menghilangkan gerahnya hari. Untung cukup terbantu oleh hembusan angin yang bebas hilir mudik.  Beberapa orang sibuk menata dagangannya, mempercantik penampilan standnya masing-masing, dan beberapa lainnya sibuk melayani pembeli. Para pengunjung seolah tidak ingin melewatkan momen. Berjalan dari satu stand ke stand yang lainnya, menyusur jalan-jalan di Kawasan Monas. Sekedar melihat-melihat, menilik, memilih, ketika ada yang menarik hati, transaksi pun terjadi.

Kemarin adalah hari kedua penyelenggaraan Pekan Rakyat Jakarta (PRJ) di Kawasan Monumen Nasional yang Selasa (10/6/2014) telah secara resmi dibuka oleh Plt Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama.

Gambar

Gambar

Mata tertumbuk pada salah satu stand yang menjual nasi bakar. Yang terlintas di benak, “Lumayan nih, untuk makan malam nanti”. Mbak Wiwit penjaga sekaligus pemilik stand nasi bakar langsung sigap dan ramah melayani, “Mau nasi bakar yang mana Mbak? Ada rasa ayam jamur, teri, ayam teri, atau peda?” Tiga bungkus nasi bakar pun berpindah tangan. Penasaran, di sela penyiapan nasi bakar, tak ada salahnya mengorek keterangan dari Mbak Wiwit.  “Buka stand di sini gratis Mbak, gak dipungut bayaran apapun, soalnya saya dapat undangan untuk ikut meramaikan acara dari Unit UKM Dinas Perindustrian dan Energi, jadi sepertinya UKM yang terdaftar di sana diundang”.

Mbak Wiwit merupakan satu dari sekian banyak pelaku UKM binaan dari Dinas Perindustrian dan Energi DKI Jakarta yang turut meramaikan PRJ Monas. Dalam setiap kegiatan yang digagas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Mbak Wiwit dan ratusan UKM binaan lainnya akan diundang untuk turut berpartisipasi. Selain menampung para pelaku UKM, PRJ Monas juga menampung para pedagang kaki lima. Untuk UKM dan pedagang kaki lima, tidak dipungut biaya. Selain itu ada puluhan stand yang berbayar di PRJ Monas dan diisi oleh produk-produk besar, misal dari beberapa operator seluler, produsen beberapa produk motor dan mobil, maupun beberapa label snack yang telah cukup terkenal. Semuanya berpadu dan bersatu dalam satu kawasan Monas untuk memeriahkan ulang tahun Jakarta.

Ahok dalam sambutan pembukaan PRJ Monas mengungkapkan bahwa PRJ Monas bukan tandingan Pekan Raya Jakarta atau Jakarta Fair Kemayoran yang diselenggarakan oleh PT JIExpo. Beliau menegaskan, lingkup peserta dan pengunjung PRJ Kemayoran dan PRJ Monas berbeda. Lingkup peserta dan pengunjung Jakarta Fair di Kemayoran telah mencakup nasional dan internasional. Ahok menginginkan agar seluruh warga Jakarta dapat menikmati kemeriahan ulang tahun Jakarta. Tidak hanya di PRJ Kemayoran yang untuk memasuki areanya saja harus bayar. Untuk itulah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengadakan pula PRJ Monas yang bisa dikunjungi warga Jakarta secara gratis.

Ide dan tujuan penyelenggaraan PRJ di Kawasan Monas sudah baik. Ahok ingin mengakomodasi warga Jakarta yang tidak mampu berkunjung ke Jakarta Fair Kemayoran dan para penduduk yang kurang mampu. Walau tidak sepenuhnya benar. Saya rasa banyak kok warga yang cukup mampu dan datang berkunjung ke PRJ Monas.

Gambar

Lelah berjalan-jalan di seputar stand yang memenuhi Monas, sempat singgah beli es jeruk di salah satu stand. Ngobrol sebentar, “Agak sepi Mbak, karena terlalu banyak stand di sini, dan barangnya pun nyaris sama. Banyak pedagang kaki lima liar yang juga masuk ke sini. Awalnya dijanjikan dalam satu deret hanya ada satu yang jual minuman, tapi kenyataannya begini”. Tampak dalam jarak tidak terlalu jauh, penjual minuman lainnya banyak bertebaran. Mbak penjual es jeruk masih meneruskan penjelasannya, “Katanya kalau hari biasa buka mulai dari pukul 2 siang, tapi kenyataannya, banyak yang jualan dari pagi. Tahu gitu, saya juga datang dari pagi”. PRJ Monas resminya memang dibuka pada pukul 14.00-23.00 setiap hari, sementara khusus untuk hari Sabtu dan Minggu, dibuka lebih awal, yaitu mulai pukul 09.00-23.00.

Gambar

Gambar

Lanjut berkeliling lagi. Ternyata PRJ Monas tidak hanya mengakomodasi penjual makanan, pakaian, mobil, motor, telepon genggam, dan beragam barang konsumsi lainnya. Ada kerumunan orang di seputar tugu Monas yang menarik perhatian. Ternyata ada gelaran yang diberi judul “Kampoeng Dolanan Nusantara”. Penggagasnya dari beberapa komunitas penggemar mainan khas Nusantara. Seperti gelaran yang diusung oleh Komunitas Gasing Indonesia atau bermain enggrang bersama.

Sempat beberapa saat berada di sana dan mencoba meletakkan gasing yang berputar di atas telapak tangan. Awalnya takut, tapi setelah diyakinkan oleh anggota komunitas gasing, berani juga mencoba. Hasilnya, “Geli-geli dikit lah.. “. Seru juga.

Gambar

Gambar

Ada satu lagi yang cukup mengusik. Area Monas cukup luas, bahkan terlalu lelah jika memaksakan untuk berkeliling ke seluruh stand yang ada di sana. Pengunjung pun cukup banyak walau belum dapat dikatakan berjubel. Yang membuat heran, “Kok pintu masuknya gak dibuka lebar?”. Padahal jelas-jelas pintunya sangat lebar, tapi tidak dibuka. Semua pintu masuk di sekeliling Monas, hanya dapat dilalui oleh orang dengan antri satu persatu. Padahal sedang ada gelaran pesta rakyat. Pengunjung harus berjubel melewati pintu kecil yang hanya cukup untuk dilewati satu orang saja. Penasaran, sempat tanya ke petugas keamanan yang berjaga di sana. Jawabannya, “Iya Mbak, memang pintunya gak bisa dibuka. Maksud awalnya, supaya tidak bisa dimasuki oleh gerobak penjual kaki lima”. Gubbraaak…! Ternyata itu toh alasannya. Padahal jelas-jelas pedagang kaki lima liar pun banyak masuk dan bertebaran di dalam kawasan Monas. Jadi, sebenarnya, tidak efektif juga membiarkan pintu Monas yang sekian lebar tertutup. Yang ada, hasilnya, pengunjung harus berjubel untuk keluar dan masuk kawasan Monas.

Hhmmm, lumayanlah…. Menghabiskan sore di PRJ Monas. Melihat kemeriahan Pekan Rakyat Jakarta di Monas, pestanya rakyat Jakarta. Saatnya kembali pulang. PRJ Monas saat ini tengah digelar hingga tanggal 15 Juni 2014 nanti. Walaupun masih terdapat kekurangan di sana sini. Namun secara keseluruhan patut diacungi jempol. Upaya untuk memberikan hiburan gratis, kemeriahan menjelang ulang tahun Jakarta, tengah dihelat di Monas. Ada yang tertarik berkunjung? Silakan… (Del)

 

Jadi, Kota Jakarta Ada di Mana?

Gambar

Marilah sejenak kita lupakan hiruk pikuk Pilpres yang sebentar lagi mampir. Terkadang, bosan juga melihat berita di TV yang tayangannya hampir didominasi dengan berita Pilpres. Terutama di antara dua stasiun berita yang mulai terlihat dengan jelas dan terang, sangat tidak berimbang. Masih ditambah dengan berbagai media sosial maupun group di HP yang topiknya gak jauh dari situ.  Kompasiana ikut-ikutan, tidak mau ketinggalan. Berita seputar pilpres banyak berseliweran. Belum cukup? Obrolan di kantor pun masih seputar situ. Sekali-kali, boleh dong teriak, “Bosan……! Gak ada topik yang lainkah? ”. Tapi tenang…saya janji gak akan golput kok… Hanya perlu sedikit penyegaran. Tidak melulu bahas politik.

“Jadi bahas apa dong…..?”. Mari kita tengok Kota Jakarta. Kota yang banyak diumpat sekaligus tetap dicinta. Kota yang masih dijadikan tempat hidup dan berpenghidupan bagi penghuninya. Dapat dipastikan, hampir semua penduduk Jakarta, pernah mengeluarkan umpatan atau paling tidak kekecewaan atau keluhan tentang Jakarta.  Paling tidak, pasti pernah mencetuskan kekecewaan atau protes terkait banjir, macet, bising, got mampet, atau tentang sampah.

Kota Jakarta merupakan ibukota Negara sekaligus dinilai sebagai kota metropolitan. Konon, Jakarta juga merupakan surga bagi penggila belanja di tanah air.  Berbagai tempat belanja berjejalan menghiasi kota. Konon, Kota Jakarta merupakan kota metropolitan dengan jumlah mall terbanyak di dunia. Lebih dari 130 mall bertebaran di Jakarta. Tersebar hingga pelosok Jakarta. Lingkungan perumahan skala kecil pun bisa memiliki mall yang mentereng. Bahkan dalam satu ruas jalan bisa ada 2 Mall besar sekaligus.

Pertumbuhan dan perkembangan mall di Kota Jakarta beberapa tahun ke belakang di luar kendali. Banyak lahan yang semula peruntukannya bukan untuk kawasan komersial atau yang pada awalnya merupakan kawasan permukiman, beralih fungsi menjadi kawasan perdagangan. Bahkan, kawasan yang semula memiliki fungsi untuk kawasan resapan air dan ruang terbuka hijau dapat berubah wujud menjadi mall atau kawasan komersial lainnya. Masih untung Jokowi-Ahok segera menyadarinya. Setidaknya, pertumbuhannya mulai melambat. Jakarta sudah tidak terlalu jor-joran mengeluarkan ijin untuk pendirian mall. Jakarta butuh ketegasan. Tegas menerapkan rencana tata ruangnya.

Saya bukan orang yang anti mall. Masih tetap membutuhkan dan sesekali melakukan aktivitas jalan-jalan dan belanja di mall. Hanya masih dalam kadar yang wajar. Terkadang fenomena menjamurnya mall tersebut menumbuhkan kegelisahan tersendiri. Benarkah Jakarta membutuhkan mall sebanyak itu? Apakah kebutuhan akan mall memang sebanyak itu? Apakah orang-orang ke Jakarta melulu untuk berbelanja? Apakah budaya konsumerisme sudah sedemikian parah melanda Jakarta? Haruskah selalu menghabiskan waktu bersama keluarga di mall?

Yang lebih aneh adalah penamaan  mall-mall yang ada. Semua seakan berkiblat ke dunia di belahan Barat sana. Seolah paradigma modern yang tertanam dan memiliki daya jual tinggi harus berpatokan ke sana. Cobalah tengok dan cermati nama-nama mall yang ada di Jakarta. Hampir semua mall diberi label nama-nama berbau asing. Paling tidak, memiliki penggalan kata dari Bahasa Inggris. Mungkin supaya terlihat keren dan modern. Istilah square, town square, park, trade center, village, atau city banyak berseliweran.

Mungkin akan ada nada yang berkomentar, “Ah, itu sih kamu aja yang kepo…sirik….Gak ada salahnya kan? Supaya lebih menjual…Kalau kamu punya mall pasti melakukan hal yang sama”. Memang gak ada salahnya, sudah jadi hak mereka karena belum ada aturannya. Hanya, terkadang tergelitik juga.

Ada banyak label square. Cilandak Town Square, Mangga Dua Square, Kelapa Gading Square, Dharmawangsa Square, Cibubur Square, Rawamangun Square, Blok M Square, dan banyak square yang lainnya. Mengapa semua seolah latah menamainya square? Atau seperti juga, “Mengapa semua harus dinamakan trade center? Atau, “Mengapa harus dinamakan Pejaten Village, Pluit Village? Village-nya dari mana?”. Mari kita tersenyum.

Ada Senayan City, Kuningan City, Season City, Gandaria City, Thamrin City, dan terakhir ada Kota Kasablanka. Dinamakan kota, “Kotanya di sebelah mana?” Yang dimaksud Senayan City, Kuningan City, Thamrin City, dan sebagainya itu tidak lebih dari bangunan mall. Ok lah, dulu mungkin merencanakan untuk mewujudkan yang namanya konsep “compact city” atau mix used building, sehingga diberi tambahan label “city”. Tapi gak tepat juga, hehehe… Kota di dalam kota? Di antara sekian banyak city, lalu Jakarta City nya di mana? Kota Jakartanya di mana? Ha..ha…ha…

Lebih lucu lagi Central Park… Isinya gak jauh juga dari definisi mall. Tetap isinya pusat perbelanjaan. Pertanyaannya, “Park-nya di mana?”. Ah, sudahlah… anggap saja ini intermezzo tengah hari di tengah suasana menjelang pilpres. Dari seseorang yang sedang kepo… Hehehe… (Del)

 

 

Monas Bukan Tempat Gantung Anas

Gambar

Tentunya masih teringat beberapa waktu yang lalu ketika Anas Urbaningrum dengan lantangnya mengatakan, “Satu rupiah saja Anas korupsi Hambalang, gantung Anas di Monas!”. Pernyataan itu pun sontak menarik perhatian. Semua seolah memiliki hak untuk berkomentar dan memberikan tanggapan. Monas dan Anas naik ke permukaan berita.

Saat ini Anas telah ditahan dan kasus terus bergulir, namun biarkan Monas tetap pada fungsinya. Monas bukan tempat untuk gantung Anas atau gantung siapapun. Monas bukan tempat untuk eksekusi hukuman bagi siapapun. Monas harus tetap pada fungsi dan peruntukannya sebagai ruang terbuka hijau sekaligus  sebagai ruang publik. Ruang yang semakin hari terasa semakin sulit ditemui.

Tidak usah heran, berdasarkan data yang ada, saat ini Jakarta hanya memiliki ruang terbuka hijau seluas 9,8% dari total luas Jakarta. Untuk mencapai besaran 16 % seperti yang diamanatkan dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) DKI Jakarta, masih diperlukan tambahan 6 %  ruang terbuka hijau. Jakarta masih memerlukan upaya yang sangat keras untuk menggapai angka tersebut. Sebagai gambaran, dengan total luas wilayah DKI Jakarta 661,52 km2, setiap tambahan 1% RTH, dibutuhkan lahan seluas 6,6 km2. Bahkan jika mengikuti aturan yang tercantum dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, seharusnya ruang terbuka hijau yang disediakan 30 %, yang terdiri dari 20 % RTH publik dan  10 % RTH privat. Artinya, PR Jakarta masih jauh lebih berat lagi. Jakarta harus berupaya untuk menyediakan ruang terbuka hijau yang lebih luas lagi.

Gambar

Gambar

Sabtu pagi yang lalu, menyempatkan diri untuk berolah raga, sekedar joging di seputar Monas. Jakarta sedang dalam cuaca yang sangat cerah. Lalu lintas di Sabtu pagi belum terlalu menggeliat. Mungkin warga Jakarta sebagian masih terlelap dalam tidurnya, menyambut libur panjang akhir pekan.

Gambar

Memasuki pelataran Kawasan Monas, langsung dihadapkan pada kenyataan yang membuat miris. Fungsi Monas sebagai ruang terbuka hijau dan sebagai ruang publik seolah telah memiliki interpretasi yang salah kaprah. Mata seolah dihadapkan pada kenyataan, bahwa pelataran Monas telah benar-benar difungsikan sebagai “ruang publik” dalam arti yang keliru. Pelataran sekitar Monas seakan menjadi ruang bagi siapapun warga/publik yang ingin turut hidup dan meneruskan kehidupannya di sana. Beberapa keluarga terlihat berkegiatan dan tidur di sana. Di sini lah salah kaprahnya. Ruang publik bukan berarti dapat dimiliki/dikuasai seenaknya oleh publik. Kalau begini, sudah berganti fungsi menjadi ruang privat bagi sebagian orang yang tidur dan tinggal di sana. Entah siapa yang patut disalahkan. Mungkin mereka tidak memiliki pilihan yang lebih baik.

Gambar

Tidak terlalu jauh dari sana, masih di seputaran Monas, perasaan miris semakin menjadi. Di pagi yang cerah itu, mata kembali dibuat tidak nyaman dengan pemandangan yang terpampang. Lebih dari sepuluh taksi tampak terparkir tak beraturan di area luar Monas. Yang lebih menyedihkan, sampah teronggok di mana-mana. Tersebar seolah menjadi penghias jalanan. Inilah Kota Jakarta, sebuah Kota Metropolitan yang masih berbudaya kampung.

Gambar

Gambar

Tidak berhenti di sana, aneka pedagang kaki lima dengan jumlah yang cukup banyak terus merangsek ke jalan. Sudah mulai mengokupasi badan jalan. Saat ini mungkin tidak terlalu mengganggu. Tapi, saya yakin, bila terus dilakukan pembiaran, akan mendatangkan permasalahan yang lebih besar di kemudian hari. Siapa yang akan bertanggung jawab?

Gambar

Ah sudahlah, tidak usah terlalu larut. Ini saatnya untuk menikmati indahnya sore. Saatnya untuk mengerjakan berbagai hal lainnya. Jangan sampai aneka pemandangan tersebut merusak hari.  Selamat sore… Salam. (Del).

Bertahan Hidup di Tengah Belantara Jakarta

Gambar

Bisa jadi, Jumat sore merupakan waktu yang memunculkan kontradiksi bagi para pekerja  atau karyawan yang harus menjalani rutinitas pergi kerja di pagi hari dan pulang di sore hari. Kontradiksi ini terutama melanda para pekerja di Kota Jakarta. Di satu sisi, timbul rasa senang karena besok merupakan hari libur, dan di sisi lainnya, juga menimbulkan rasa malas karena jalanan pastinya macet semacet-macetnya. Jumat sore, jalanan Kota Jakarta selalu lebih padat dibandingkan sore-sore di hari yang lainnya. Walau sore lainnya pun sebenarnya tidak jauh lebih baik.

Jumat sore kemarin, kebetulan berkesempatan pulang menggunakan bus TransJakarta. Ketika awal naik di halte Blok M untuk menuju Kota, penumpang belum terlalu sesak. Paling tidak masih ada beberapa kursi kosong. Namun kondisi itu tidak berlangsung lama. Di halte-halte selanjutnya, penumpang mulai tumpah ruah. Semua seakan mengejar waktu untuk segera tiba di rumahnya masing-masing. Semua rela berdesakan dan berjejalan demi segera memulai saat-saat libur akhir pekan bersama keluarga atau demi alasan lainnya. Bus Transjakarta yang mulanya masih longgar, dan kaki masih bisa selonjor, berubah dengan cepat. Aneka jenis penumpang mulai menyerbu. Kaki pun terpaksa ditekuk tegak untuk memberikan sedikit ruang bagi penumpang yang berdiri di depan.

Ada satu penumpang yang menarik perhatian. Seorang ibu yang saya taksir berumur pertengahan 30-an berusaha masuk dan menuju ke arah tempat saya duduk. Di wajahnya tergurat beban, terlihat letih. Ibu itu tidak sendiri, dia masuk bersama dengan anak kecil dalam gendongannya. Sang Ibu terlihat sedikit kerepotan. Anak dalam gendongannya terbangun dan mulai rewel. Selain menggendong anak, tangan kirinya menenteng tas gendong untuk anak kecil. Mungkin berisi perlengkapan sang anak. Tangan kanannya masih memegang sebotol susu. Mulutnya berusaha untuk menenangkan anak dalam gendongannya. Berusaha untuk membujuk anaknya, “Iya, ini kita sudah mau pulang kok, sabar ya, tidur aja… Kita udah di busway..kita pulang… “.  Kata-kata itu dia ulang berkali-kali, berusaha untuk membujuk dan menenangkan anaknya.

Spontan, saya langsung berdiri dan memberikan tempat duduk yang saya tempati. Sang Ibu mengucapkan terima kasih berulang kali, “Terima kasih Mbak, terima kasih. Mbak baik sekali. Pegel banget hari ini. Terima kasih ya..”. Akhirnya, anak dalam gendongannya tertidur. Rupanya, Ibu itu senang ngobrol. Dia seakan ingin menumpahkan pengalamannya.  Tanpa diminta, si Ibu melanjutkan omongannya, “Lumayan Mbak hari ini. Dapet orang yang baik-baik semua. Semuanya baik. Lumayan, dapet lebih. Ah, semoga Bapak yang tadi mendapat rejeki yang banyak, mendapat berkah yang lancar dan saya ikut kebagian rejekinya”.  Bingung. Apa maksudnya? Si Ibu masih meneruskan pembicaraannya. Di balik wajah letihnya tergurat rasa gembira. Dia terus mengumandangkan kegembiraannya dan memuji-muji Bapak yang memberinya uang Rp. 50.000,-. Dengan uang itu dia sudah berencana untuk membelikan anaknya susu. Tak lupa dia selipkan doa untuk Bapak yang baik hati tersebut. Mulut Si Ibu terus mengeluarkan kata. Akhirnya, saya mulai paham. Ibu itu baru pulang dari kerjanya. Dia ternyata bekerja sebagai Joki 3 in 1.

Saya mulai penasaran. Seperti apa sesungguhnya lika-liku pekerjaan yang satu ini. Pekerjaan yang menjamur semenjak kebijakan 3 in 1 diterapkan dan hingga kini masih langgeng bertahan. Ladang pekerjaan  hasil kreativitas warga untuk mensiasati penerapan suatu kebijakan.

Tidak terlalu sulit untuk mengorek keterangan dari mulut Sang Ibu karena pada dasarnya dia hobi cerita. Satu pertanyaan simpel langsung dijawab dengan rangkaian kalimat, berkalimat-kalimat. Dalam waktu yang singkat, dia telah banyak bercerita bahwa dia ngontrak kamar kecil di daerah Kota, hanya berdua bersama anaknya. Sebenarnya dia memiliki dua anak. Anak yang besar masih SD, dititipkan ke kakek dan neneknya di Kota Tasikmalaya. Tiap bulan dikirimi uang untuk biaya hidup dan biaya sekolahnya. Dia merasa pekerjaan sebagai joki 3 in 1 cocok untuknya. Tidak terlalu berat, dapat mengajak serta anaknya, tidak perlu keahlian khusus, dan cukup mudah. Yang diperlukan adalah sedikit nyali untuk berdiri di pinggir jalan bahkan nyaris di badan jalan.   Berupaya mengalahkan rasa takut tertabrak mobil, demi mengalahkan saingan lain, sesama joki 3 in 1.

Jika sedang beruntung, dia bisa membawa pulang uang dalam jumlah yang lumayan menurut ukurannya. Namun, jika sedang apes, pernah pula hanya mendapatkan uang Rp. 15.000,00 atau bahkan pernah tertangkap razia, tapi dilepas lagi. Dia menambahkan, menurutnya, “Kerja begini, yang penting rapi dan sopan Mbak..Yang punya mobil pasti memilih yang berpakaian rapi dan kelihatan orang baik-baik. Ada pekerja bank yang biasa menggunakan jasa saya, lumayan rutin, saya biasanya mangkal di Jalan Juanda.”

Saya tanya, “ Suaminya mana Mbak?”. Suaminya ternyata kabur entah ke mana, meninggalkan dia seorang diri di belantara Jakarta. Bertahan hidup di tengah himpitan kebutuhan ekonomi. Tapi dia berusaha untuk meyakinkan diri bahwa tanpa suami pun, dia bisa bertahan hidup. Saya tanya lagi, “Kenapa gak pulang ke Tasik?” Jawabannya klise, namun itulah kenyataannya. “Di Tasik saya mau kerja apa? Sawah tidak punya, keahlian tidak ada, modal juga tidak ada”.

Hhmmmm. Inilah salah satu potret warga Jakarta. Satu di antara sekian juta warga Jakarta yang menggantungkan hidup dan penghidupannya pada Kota Jakarta. Masih banyak lagi cerita tentang warga  Jakarta lainnya yang tidak kalah perjuangannya. Demi untuk hidup dan berpenghidupan di Kota Jakarta. “Ah, siapa suruh datang Jakarta?”. Jakarta memang gudangnya orang kaya di Indonesia. Peredaran uang di Jakarta lebih dari separuh peredaran uang di Indonesia. Namun masih banyak pula kaum marjinal yang berupaya bertahan hidup di Kota Jakarta.

Sebentar lagi, warga Jakarta dan warga lainnya di belahan lain Indonesia akan mencoba untuk menggantungkan harapannya pada para wakil rakyat yang akan dipilihnya. Apakah para calon wakil rakyat perduli pada mereka? Akankah para wakil rakyat yang konon katanya terhormat itu akan memperjuangkan nasib mereka? Ataukah mereka akan semakin larut dengan beban hidup dan semakin terlupakan? Semoga tidak.

Sebentar lagi, warga Jakarta dan warga lainnya di belahan lain Indonesia akan mencoba menaruh impiannya pada presiden yang baru. Memimpikan untuk memiliki pemimpin baru yang dapat membawa Indonesia ke arah yang lebih baik, lebih makmur, lebih sejahtera. Adakah para calon Presiden mau memperjuangkan nasib mereka? Akankah presiden yang baru akan berpihak pada rakyatnya? Ataukah mereka larut dengan kuasa dan kewenangan besar yang dimilikinya? Semoga tidak. Indonesia pasti bisa. Salam. (Del)

Pengalihan Hak Membangun, Layakkah Diterapkan di Jakarta?

Rencana Detail Tata Ruang (RDTR)  dan Peraturan Zonasi (PZ) DKI Jakarta telah mendapatkan kesepakatan dengan pihak DPRD DKI Jakarta pada tanggal 12 Desember 2013 yang lalu. RDTR merupakan rencana rinci, penjabaran atau bentuk operasionalisasi Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta. Aturan apa saja yang tercantum dalam RDTR Kota Jakarta?

Mungkin masih belum banyak yang mengetahui, dengan Perda RDTR tersebut, Jakarta akan menerapkan aturan pengalihan hak membangun. Aturan apakah itu? Layakkah diterapkan di Jakarta? Tidak ada salahnya jika kita coba simak bersama.

Pengalihan hak membangun atau yang dikenal luas dengan Transfer of Development Rights merupakan salah satu teknik pengaturan zonasi yang diterapkan Jakarta selain bentuk teknik pengaturan zonasi lainnya seperti bonus atau insentif, fiskal, kawasan khusus, pengendalian pertumbuhan, pemugaran, dan teknik lainnya.

Pengalihan hak membangun memberikan peluang bagi seseorang atau pemillik lahan untuk memindahkan atau menukarkan hak membangun yang dimilikinya dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Secara mudah, mungkin dapat dijelaskan dengan contoh berikut. Suatu persil terletak dalam zona dengan maksimum jumlah lantai bangunan 12. Dalam kawasan tersebut juga terdapat bangunan bersejarah atau bangunan cagar budaya lainnya yang terkena peraturan pelestarian bangunan sehingga pemilik bangunan bersejarah tidak dapat menggunakan secara penuh hak membangunnya. Hak membangun yang dimilikinya tersebut dapat dialihkan atau dipindahkan ke lokasi lain. Secara sederhana, dapat dikatakan, hak membangun dapat dialihkan atau diperjual-belikan. Yang menjadi pertanyaan, “Apakah praktik pengalihan hak membangun ini dapat diterapkan di seluruh wilayah Jakarta? Apakah pengalihan dapat dilakukan pada blok yang berbeda ataukah hanya dapat dilakukan pada blok yang sama? Sebatas apa praktik pengalihan hak membangun ini diijinkan?

Walaupun penerapan teknik pengaturan zonasi ini masih tergolong baru di Indonesia, namun bukan yang pertama. Teknik pengalihan hak membangun (transfer of development rights) juga diterapkan di beberapa kota di negara lain. Contohnya di New York.  Suatu zona memiliki aturan ketinggian bangunan maksimum 35 lantai. Gereja yang hanya memiliki 3 lantai dan terkena aturan untuk mempertahankan arsitektur bangunan aslinya diperkenankan untuk menjual hak membangun miliknya yang tidak dipergunakan kepada tetangganya dalam satu zona untuk membangun hingga 35+32 lantai.

Penerapan pengalihan hak membangun yang coba diterapkan di Jakarta bukan tanpa persyaratan. Terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sebelum seseorang dapat mengalihkan hak membangunnya atau orang lainnya menerima hak membangun.  Pengalihan hak membangun yang diterapkan di Jakarta memiliki persyaratan:

  1. Pengalihan hak membangun berupa luas lantai bangunan yang tidak terpakai yang berada dalam satu blok perencanaan;
  2. Pengalihan berasal dari selisih batasan hak membangun yang ditetapkan berdasarkan RTRW dengan Koefisien Lantai Bangunan (KLB) yang digunakan dalam persil yang dibangunnya
  3. Pengalihan KLB dapat diberikan setelah dimanfaatkan minimal 60% dari KLB yang ditetapkan. Pengalihan hanya dapat dilakukan maksimal 1 (satu) kali

Teknik ini relatif baru untuk Indonesia dan yang paling dibutuhkan adalah administrasi yang jelas dengan pemetaan yang baik pula. Seluruh peta harus sudah memiliki sistem koordinat yang sama. Dibutuhkan transparansi baik secara aturan maupun kejelasan wilayah-wilayah yang dapat menerapkan teknik tersebut. Perlu aturan yang mengatur secara lebih rinci terkait harga, besaran, luasan, lokasi, dan aturan rinci lainnya. Sekali lagi, penegakan hukum tetap menjadi panglima untuk mengawal keberhasilan penerapan pengaturan tersebut. Jangan sampai terjadi permainan pengalihan hak membangun secara berulang atau timbul ekses lainnya.

Pada dasarnya, upaya untuk melindungi kawasan-kawasan cagar budaya atau bangunan-bangunan yang memiliki nilai sejarah lainnya dapat langsung dilakukan dengan teknik pengaturan zonasi berupa pemberian insentif. Namun, pemerintah daerah DKI Jakarta mengambil langkah pengalihan hak membangun sebagai salah satu cara untuk memberikan insentif kepada bangunan-bangunan yang tidak menggunakan haknya tersebut.

Jadi, layakkah pengalihan hak membangun diterapkan di Jakarta? (Del)

 

Sumber : RDTR dan PZ DKI Jakarta

Banjir di Jakarta itu Wajar

Hujan deras yang melanda Jakarta pagi ini pasti membuat banyak orang yang tinggal di kawasan Jakarta mengurungkan niatnya untuk pergi ke tempat kerja atau ke tempat aktivitasnya sehari-hari. Selain karena sibuk mengurusi air yang bagai tamu tak diundang, masuk tanpa permisi, juga karena sulitnya keluar dari kawasan rumah. Genangan ada di mana-mana. Kemacetan menjadi kepastian mutlak. Itu pula yang saya alami. Libur atau tepatnya meliburkan diri di hari yang penuh banjir ternyata tetap menyisakan hikmah. Paling tidak, dapat menulis dengan tenang di rumah.

Gambar

Musim banjir tahun ini tak kalah heboh dengan tahun yang lalu. Untuk beberapa lokasi, semakin parah. Menggelitik dan menggerakkan hati untuk kembali menelisik ruang Jakarta, dan akhirnya sampai pada kesimpulan. Banjir di Jakarta  itu wajar. Jadi tidak perlu terlalu heran, tidak perlu terlalu terkejut. Banjir di Jakarta itu suatu hal yang pasti.

Kok bisa? Berikut beberapa alasannya:

1.    Jakarta sudah menjelma menjadi belantara beton

Untuk warga yang telah lama tinggal menetap di Jakarta, akan dengan mudah merasakan secara jelas perbedaannya. Cobalah sedikit mengingat-ingat kondisi Jakarta 10 tahun yang lalu dan bandingkan dengan kondisi Jakarta sekarang. Pasti akan menyadari bahwa kawasan terbangun di Jakarta telah meningkat dengan pesat. Ruang terbuka telah berganti menjadi kawasan terbangun. Gedung-gedung seakan berlomba untuk membelah langit Jakarta, semakin tinggi, semakin banyak. Skyline Jakarta telah berubah. Jakarta telah berubah menjadi belantara beton. Maraknya dan masifnya pembangunan fisik terutama di sektor properti,  baik berupa hunian horisontal maupun vertikal, menjadi penyumbang besar. Semakin banyaknya kawasan terbangun yang tidak mempertimbangkan kebutuhan ruang resapan air menjadi salah satu penyebabnya.

2.   Ruang Terbuka Hijau hanya 9 %

Saat ini, ruang terbuka hijau yang ada di Jakarta hanya 9,8% dari total luas Jakarta. Untuk mencapai besaran 16 % sesuai dengan yang diamanatkan dalam RDTR DKI Jakarta, masih diperlukan tambahan 6 %  ruang terbuka hijau. Jakarta masih memerlukan upaya yang sangat keras untuk mencapai hal itu. Sebagai gambaran, dengan total luas wilayah DKI Jakarta 661,52 km2, setiap tambahan 1% RTH, dibutuhkan lahan seluas 6,6 km2. Bahkan jika mengikuti aturan yang tercantum dalam UU Penataan Ruang, seharusnya ruang terbuka hijau yang disediakan 30 %, yang terdiri dari 20 % RTH publik dan  10 % RTH privat. Bagaimana air dapat cepat meresap ke dalam tanah jika ruang terbuka hijau nya hanya tersisa 9 % saja?

3.   Perambahan wilayah sempadan sungai

Cobalah tengok kawasan-kawasan di pinggir-pinggir sungai yang ada di Jakarta. Sangat mudah ditemui bangunan-bangunan yang berada persis di pinggir sungai, tanpa jarak sama sekali. Bahkan banyak di antaranya berada sedikit di atas sungai. Tak usah heran jika sangat rawan terkena banjir. Wilayah sempadan sungai selayaknya tidak boleh terbangun. Dilarang mendirikan bangunan di kawasan-kawasan sempadan sungai.

4.   Pertambahan jumlah penduduk

Jakarta merupakan kota terbuka. Jakarta tetap masih menjadi magnet bagi warga yang berada di sekitar Jakarta maupun orang-orang yang berada jauh dari Jakarta untuk hidup dan mencari penghidupan di Jakarta. Jumlah penduduk Jakarta yang terus bertambah tentunya sangat berpengaruh pada daya dukungnya. Jakarta sudah tidak sanggup menampung lonjakan penduduk. Tidak usah heran jika daya dukung Kota Jakarta terus merosot. Kondisi lingkungan di Kota Jakarta semakin memprihatinkan.

5.   Buruknya implementasi rencana tata ruang

Jakarta seharusnya sedikit bernafas lega karena telah memiliki Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta No. 1 tahun 2012, bahkan memiliki Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) DKI Jakarta yang telah mendapatkan kesepakatan dengan DPRD pada tanggal 12 Desember 2013.  RDTR ini selayaknya dapat dijadikan tonggak untuk membenahi Kota Jakarta karena di dalamnya telah memuat aturan zonasi ruang Jakarta yang dituangkan dalam peta zonasi untuk seluruh wilayah DKI Jakarta. Penegakan hukum tetap menjadi salah satu panglima. Buruknya implementasi rencana tata ruang di masa lalu dan lemahnya penegakan hukum sepatutnya tidak terjadi lagi. Jika konsekuen menerapkan RDTR yang telah ditetapkan, setidaknya ruang yang diidamkan dapat terwujud.

6.   Perubahan peruntukan di wilayah hulu

Jakarta memang tidak dapat menangani banjir seorang diri. Perlu penanganan lintas wilayah. Masalah banjir terkait erat dengan wilayah lainnya, terutama di kawasan hulunya. Perubahan peruntukan yang terjadi secara masif di kawasan Puncak, Bogor dan sekitarnya sangat mempengaruhi. Kawasan resapan air di bagian hulu telah berkurang secara drastis. Tidak perlu terlalu heran jika Jakarta menanggung akibatnya. Tidak perlu terlalu menyalahkan wilayah lain pula, karena warga Jakarta pun memiliki andil di dalamnya. Sebagian besar vila-vila di kawasan Puncak dan Bogor dimiliki oleh orang Jakarta.

7.   Budaya dan perilaku masyarakat yang tidak mendukung

Selain faktor teknis yang menjadi penyebab, masih ada faktor lain yang justru mengambil porsi yang sangat besar, yaitu terkait budaya dan perilaku masyarakat Kota Jakarta yang belum mendukung. Jakarta merupakan Kota Metropolitan yang layak dijuluki sebagai Kampung Besar. Tidak ada yang salah dengan sebutan Kampung Besar, yang membuat miris adalah budaya kampung yang masih melekat erat Tidak semua budaya kampung buruk. Banyak pula budaya kampung yang baik. Budaya gotong royong, kebersamaan, kekeluargaan, dan budaya kampung lainnya, layak diterapkan di Jakarta. Yang menjadi masalah adalah penerapan budaya kampung yang tidak tepat. Pengaplikasiannya tidak sesuai dengan lingkungan yang ada, yaitu lingkungan perkotaan. Mulai menjurus tidak hanya budaya kampung, melainkan kampungan. Dapat dilihat di tulisan lainnya tentang Jakarta Kota Metropolitan dengan Budaya Kampung.  Sangat mudah menjumpai warga Jakarta yang membuang sampah sembarangan dan menganggap sungai sebagai tempat sampah besar dan menempati lahan-lahan kosong yang seharusnya terlarang untuk hunian.

Jadi, jika banjir melanda Jakarta, itu adalah hal yang wajar. Jakarta semakin tidak ramah dan tidak nyaman merupakan akibat yang sangat wajar terjadi.  Curah hujan yang tinggi, saluran air yang tidak memadai, buruknya sistem drainase perkotaan, pendangkalan sungai, perambahan wilayah sempadan sungai menjadi hunian dan bangunan lainnya, menyusutnya ruang terbuka hijau, pembangunan yang sangat masif terjadi, budaya dan perilaku warga yang masih memprihatinkan serta banyak hal lainnya menjadi penyebabnya.

Apalagi ya…? Ah, sudahlah, itu dulu. Hujan telah reda, saatnya untuk mandi. Hehehe.. apa hubungannya? (Del)

Sumber Foto : http://whatindonews.com/id/post/15999/antisipasi_banjir_jakarta__bnpb_siapkan_tmc

Blusukan di Pasar Pancoran – Glodok

Musim banjir sedang melanda Jakarta, namun sayang jika libur satu hari kemarin dilewatkan begitu saja. Paling tidak, kita dapat memanfaatkannya untuk sekedar istirahat atau sesuatu yang berbeda dengan hari lainnya. Tidak perlu terlalu muluk dan tidak butuh rencana-rencana. Cukup nikmati yang ada. Mengalir tanpa rencana. Terkadang, sesuatu yang tanpa rencana pun tak kalah menarik. Tergantung cara kita menikmatinya.

Pagi di hari libur dengan tayangan TV  yang isinya tentang banjir di berbagai belahan Jakarta, cukup memiriskan hati. Berita banjir dan kemacetan yang dihasilkannya sudah cukup untuk menggeser dominasi pemberitaan sebelumnya tentang AU. Mendung masih menggelayut. Panas yang biasanya menerpa Jakarta, berganti dengan suasana sejuk. Cukup nyaman.

Tiba-tiba suami datang dengan ajakannya, “Cari sarapan yuk! Mumpung adem”. Sasaran utama hasil poling dengan anak-anak akhirnya memutuskan untuk cari mie ayam di Jalan Sabang. Alternatif kedua, cari nasi uduk di daerah Kebon Kacang, Tanah Abang. Berangkat. Cukup pakai motor saja. Sambil menikmati udara Jakarta yang jarang adem.

Tujuan pertama gagal total. Tukang mie ayam di Jalan Sabang tidak menggelar dagangannya. Nasi uduk pun nihil. Alhasil, kita hanya berputar-putar menikmati sedikit lengangnya Jakarta. Menikmati suasana Jakarta yang sedikit lebih segar sehabis mendapat guyuran hujan. Ternyata, libur kali ini turut meliburkan mereka pula. Pikir-pikir, asyik juga kalau cuaca mendung, tidak panas, bermotor ria. Suami masih penasaran, cari alternatif nasi uduk lainnya, “Kita coba ke Gajah Mada, di sana juga ada nasi uduk enak”. Sama juga, gak jualan. Akhirnya ikut urun rembug, “Ke Kota aja yuk!”.

Matahari masih malu-malu menampakkan diri. Hari masih pagi. Denyut Glodok belum terlalu terasa. Motor masih bisa melenggang dengan tenang. Kawasan Pancoran – Glodok yang biasanya sering dilewati Si Komo, pagi itu masih lancar. Beberapa toko sudah mulai buka. Pedagang kaki lima sudah bersiap untuk menerima kunjungan para pembeli.

Suasana menjelang Imlek sudah sangat kental. Para pedagang di Kawasan Pancoran – Glodok seolah tidak mau ketinggalan menangguk berkah Imlek. Warna merah tersebar di mana-mana. Kaos, baju, lampion, kartu, angpau, manisan, permen, dan aneka pernak-pernik merah begitu dominan. Bunga-bunga Mei Hua beragam ukuran sangat mudah terlihat. Semua tampak bermekaran. Warna merah mudanya sangat meriah. Seakan ingin menunjukkan bahwa bunga Mei Hua dapat berkembang di sepanjang musim.

Image

Salah satu toko penjual bunga Mei Hwa

Image

Beragam amplop untuk angpau

Image

Pakaian yang dijual pedagang di sepanjang trotoar, berhimpitan dengan motor

Mata sedikit terlena dengan warna-warni merah dan merah muda. Niat mencari kudapan pagi hampir terlupa. Tidak jauh dari Pasar Glodok, ada jalan kecil yang dipenuhi oleh para pedagang sayuran dan hasil laut lainnya. Sepenggal jalan yang tidak begitu lebar, dipenuhi campuran pedagang dan pembeli.

Hiruk pikuk layaknya pasar terjadi pula di sini. Ragam sayuran segar seperti kailan, sawi, brokoli, paprika warna-warni, baby buncis, dan sayuran lainnya sangat mengundang. Hasil laut yang digelar pun beraneka. Beragam jenis ikan, kepiting, udang, kerang, dan banyak lainnya. Tak ketinggalan, daging dari hewan tak halal juga banyak dijumpai di sini. Mulai dari daging mentahnya, sosis, sate, hingga makanan olahan kalengannya. Masih pula tersedia binatang lainnya, kodok misalnya. Kodok yang dijual, telah dibersihkan dan dihilankan kulitnya. Tinggal dimasak.

Image

Aneka sayuran yang dijual di Pasar Pancoran

Image

Aneka ikan dan hasil laut lainnya

Image

Kepiting

Image

Haisom / teripang / timun laut

Image

Haisom / teripang / timun laut

Yang menarik, banyak sekali dijual Haisom. Haisom biasa juga disebut teripang atau timun laut. Bentuknya kenyal, seperti kikil namun lebih padat. Biasanya banyak dijumpai dalam masakan-masakan China. Harganya jika di restoran relatif mahal. Umumnya dimasak tumis, sup, dimasak saus tiram, atau sebagai salah satu bahan masakan capcay. Penampakannya ketika masih belum diolah, agak jijik memang. Geli rasanya.

Image

nasi uduk yang habis diantri pembeli dan aneka kue

Mata tertumpu pada kerumunan orang di salah satu kios penjual makanan matang. Heran. Orang-orang seakan mengeroyok penjual. Ternyata jualan nasi uduk. Tersedia nasi uduk warna kuning dan warna putih. Disajikan dalam wadah yang lumayan besar.  Aksesorisnya tinggal pilih. Ada banyak pilihannya. Mau topping telur balado, sambal goreng tempe, empal, kulit, tahu, martabak mini, perkedel jagung, dan banyak lainnya. Para pembeli berkerumun menunggu giliran dilayani. Tertarik juga. Mencoba bertanya. Jawabannya, “Maaf, habis Mbak”. Hmmmm… nasi uduk yang tinggal setengah wadah telah habis diantri oleh pembeli lainnya. Heuh… belum kesampaian beli kudapan untuk sarapan. Tetap semangat! Kita cari makanan lainnya.

Image

Talas Pontianak

Ada yang mencuri perhatian. Seorang pedagang menjual sesuatu yang masih penuh berlumuran tanah. Didekati, ternyata talas Pontianak. Talas Pontianak ukurannya relatif lebih besar dibandingkan dengan talas Bogor. Talas Pontianak cukup terkenal lebih pulen dan lebih lembut. Di Pontianak, banyak dijual hasil olahan talas Pontianak. Dijual dalam aneka rupa cemilan, keripik, dan olahan berbahan dasar talas lainnya. Umbinya berwarna ungu dan jika dikukus warnanya akan menjadi lebih gelap.

Lumayan, hasil blusukan pasar Pancoran kemarin menghasilkan bermacam tentengan. Mulai dari cakwe dengan ukuran besar  lengkap disertai sambalnya, buah gandaria untuk sambal, beragam kue-kue, juga kodok. Yang terakhir ini anak-anak dan suami yang doyan. Saya jadi penonton saja. (Del)

Jakarta Kota untuk Orang yang Tangguh

Kita sebagai warga Jakarta beserta warga sekitar Jakarta yang turut berkegiatan serta mencari kehidupan dan penghidupan di Jakarta patut mengapresiasi diri sendiri. Masing-masing layak untuk mendapat bintang. Berarti termasuk ke dalam kategori orang-orang yang tangguh.Yang patut diacungi jempol, disematkan bintang. Kalau perlu tempel di dahi masing-masing. Tidak semua orang mau dan mampu seperti warga Jakarta. Artikel ini sekaligus melengkapi artikel sebelumnya, yaitu “Kata Siapa Hidup di Jakarta itu susah”.

Ada syarat pertama dan utama yang harus dimiliki oleh orang yang hendak tinggal dan bermukim sebagai warga Jakarta maupun orang yang mencari kehidupan dan penghidupan di Jakarta. Harus tahan banting. Maksudnya ketika dibanting, tetap membal, kenyal, dan segera kembali ke bentuk yang semula. Istilah kerennya, memiliki daya resilience yang tinggi, memiliki daya lenting yang prima.

Berikut beberapa hal yang turut menguji sebagian warga jakarta menjadi orang yang tangguh. Yakin, pasti ada di antara warga Jakarta mengalami salah satu atau salah dua di antara kejadian di bawah ini. Kalau iya, bersyukurlah, berarti Anda cukup tangguh.

1.   Balapan dengan sinar mentari

Bagaimana tidak tangguh, hari pun harus kita mulai dengan balapan. Balapan dengan sinar mentari. Masih teringat orang tua selalu mewanti-wanti, “Kalau bangun tuh jangan siang-siang, nanti rejekinya dipatok ayam!” Sekarang nasihat tersebut, ternyata tetap dijalani. Walau karena keterpaksaan. Terpaksa harus balapan dengan sinar mentari. Jika tidak, semua akan kacau. Anak-anak terlambat masuk sekolah, sarapan belum sempat tersedia, bahkan telat masuk ke kantor. Terpaksa sinar mentari harus kita kalahkan.

2.  Mempertahankan kesabaran menunggu kendaraan

Bagi warga yang masih kurang beruntung karena tidak memiliki mobil pribadi atau belum kebagian mobil murah, harus siap melatih kesabaran awal di pagi hari. Menunggu kehadiran angkutan umum kopaja, metromini, busway, kereta, atau bahkan tukang ojek yang biasa mangkal di ujung jalan. Terkadang, pekerjaan menunggu angkutan massal ini membutuhkan pertahanan kesabaran ekstratinggi. Sekalipun lewat, belum tentu tersedia tempat, bahkan untuk nyempil sekalipun. Terpaksa menunggu moda selanjutnya. Tidak tanggung-tanggung, pada jam-jam sibuk, terutama pagi dan sore hari, bisa hingga hitungan jam, yang ditunggu tak jua kunjung hadir.

3.   Mandi Sauna

Kendaraan yang ditunggu tak kunjung datang. Begitu datang, penuhnya minta ampun. Sudah jelas-jelas penuh sesak, kondektur tetap matap dengan imbauannya, “Coba ya, bergeser ke tengah, di tengah masih kosong.” Padahal sudah jelas-jelas penuh sesak. Kalau sudah begini, patut bersyukur. Bisa mandi sauna tanpa perlu ke tempat sauna. Keringat dengan aroma tujuh hingga belasan rupa sudah bisa kita hirup. Masih terhitung lumayan kalau mandi saunanya di pagi hari ketika berangkat kerja. Jangan bayangkan aromanya ketika pulang kerja. Jalani saja. Niscaya anda akan menjadi orang yang tangguh.

4.   Bertarung melawan kemacetan

Supaya tahan banting hidup di jakarta, siapkan kondisi fisik yang prima,  ketahanan mental yang tetap terjaga, dan emosi yang terkendali. Pertarungan akan segera dimulai. Yang punya kendaraan sendiri maupun yang menggunakan kendaraan umum sama-sama harus bertarung melawan kemacetan. Yang membedakan, jika menggunakan kendaraan pribadi, masih beruntung. Macetnya masih di tengah kondisi ber-AC, sambil mendengarkan radio, atau sambil bersenandung kecil, atau teriak-teriak sendiri melampiaskan kesal karena macet. Resikonya, harus mengeluarkan biaya ekstra, biaya kemacetan. Bahan bakar yang diperlukan lebih banyak dibandingkan kalau tidak macet. Bagi yang berkendaraan umum, lengkaplah sudah penderitaan. Berdesakan, kepanasan, macet pula. Kita tidak perlu teriak, “Jokowi…Tolong…!”. Ini tanggung jawab semua. Tanggung jawab Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, tanggung jawab SBY (Pemerintah Pusat) juga. Tanggung jawab kita semua. Jadi, SBY, jangan hanya curhat dan menyalahkan yang lain. Ini tanggung jawab bersama. Yang perlu diingat, jangan keluarkan kebijakan yang saling bertentangan. Cukup sudah kefatalan kebijakan mobil murah. Jangan ditambah lagi dengan kebijakan yang kontra produktif lainnya.

5.   Latihan ketahanan telinga

Tidak cukup hanya di situ, warga Jakarta pun harus memiliki ketahanan terlinga yang ekstra. Bunyi klakson kendaraan tidak cukup hanya ditekan satu kali. Bisa berkali-kali. Padahal sudah jelas-jelas tidak akan memiliki fungsi. Warga Jakarta sudah kebal dengan bunyi klakson. Maksudnya, walau sudah berkali-kali dibunyikan, tetap tak bergeming. Jadi sebenarnya, percuma juga membunyikan klakson.

6.   Latihan adaptasi dengan polusi

Tingkat polusi udara di Jakarta tidak perlu diragukan lagi. Sangat meyakinkan. Yakin seyakin-yakinnya, sangat terpolusi. Berapa banyak polusi udara yang diakibatkan oleh gas buangan knalpot jutaan kendaraan yang memadati Jakarta setiap hari? Berapa banyak karbonmonoksida yang anda hirup? Semoga dapat segera beradaptasi dengan kondisi yang terpolusi. Miris? Ya….

7.   Berpacu melawan penuaan dini

Cobalah sesekali hitung. Berapa waktu terbuang untuk perjalanan yang dilakukan setiap hari? Berapa hari terbuang dalam sebulan hanya untuk menghabiskannya di jalanan ibukota? Tidak perlu terkejut berlebihan. Masih banyak orang-orang di Jakarta dan sekitar Jakarta yang harus menempuh perjalanan lebih dari 4 jam per hari untuk pergi ke dan pulang dari tempat kerjanya. Wow! Siapa yang hendak menyangkal? Mereka termasuk orang-orang yang tangguh! Terdengar terlalu sinis? Mungkin iya. Istilah “tua di jalan” memang benar adanya.

8.  Sikap rela berkorban

Tinggal di Jakarta atau hidup dan berkehidupan dari Jakarta harus senantiasa memupuk sikap rela berkorban. Rela untuk menghadapi situasi berkurangnya waktu berkumpul dengan keluarga. Rela terkorupsi waktunya di jalan. Rela mengorbankan tenaga dan pikirannya hampir habis untuk hal yang seharusnya tidak perlu. Tenaga, pikiran, dan emosi yang terkuras untuk menghadapi jalanan Jakarta seharusnya dapat dialihkan untuk hal-hal yang produktif. Demi mewujudkan waktu yang lebih berkualitas.

Hal-hal yang diungkapkan di atas, bukan sesuatu yang baru. Semua juga sudah tahu. Hanya terkadang, dengan berbagai alasan, kita seolah berupaya berdamai. Menerima karena keterpaksaan. Hanya sekedar menghibur orang Jakarta. Ternyata mereka termasuk orang yang tangguh. Boleh miris, boleh sinis. Inilah Jakarta. Kota yang sering dicaci, diumpat, namun tetap dicintai dan dihuni oleh jutaan warga, dengan segenap alasannya.

Jadi, masih siapkah untuk hidup dan berkehidupan di Jakarta? Semangat! Berarti anda termasuk salah satu orang yang tangguh! Salam. (Del)

Jakarta Kota Metropolitan dengan Budaya Kampung

Jakarta merupakan Kota Metropolitan dengan beragam peran dan fungsi yang disandangnya. Selain sebagai ibukota provinsi, Jakarta juga memiliki peran dan fungsi sebagai ibukota negara. Kota Jakarta tidak dapat dipandang sebagai kota yang berdiri sendiri namun merupakan bagian dari sistem perkotaan global. Jakarta bersama dengan kota-kota di sekitarnya seperti Bogor, Depok, Bekasi, dan Tangerang telah menjadi sebuah kawasan megapolitan Jabodetabek. Hampir semua markas utama perusahaan besar nasional maupun multi-nasional berlokasi di Jakarta. Jakarta telah memposisikan dirinya sebagai pusat perdagangan dan jasa.

Seiring dengan semakin berkembangnya Kota Jakarta, sebagai kota yang menyandang predikat Kota Metropolitan, ternyata Jakarta juga layak menyandang predikat sebagai Kampung Besar. Kota metropolitan yang masih memiliki budaya kampung. Kampung besar yang memerlukan perhatian serius dari para pemangku kepentingan maupun dari masyarakatnya sendiri.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan sebutan Kampung Besar.  Yang sedikit membuat miris adalah Jakarta sebagai Kota Metropolitan masih memiliki budaya kampung. Budaya kampung masih melekat erat dengan warga Jakarta. Tidak semua budaya kampung buruk. Banyak pula budaya kampung yang sangat bagus. Budaya gotong royong, kebersamaan, kekeluargaan, dan budaya budaya kampung lainnya, layak diterapkan di Jakarta. Yang menjadi masalah adalah ketika budaya tersebut penerapannya tidak tepat. Pengaplikasiannya tidak sesuai dengan lingkungan yang ada, yaitu lingkungan perkotaan. Mulai menjurus tidak hanya budaya kampung, melainkan kampungan.

Tidak perlu ada yang tersinggung. Tidak perlu apriori. Berikut beberapa contoh yang mempertegas Kota Jakarta sebagai Kota Metropolitan yang masih memiliki budaya kampung.

1.  Buang sampah sembarangan

Jengkel rasanya melihat begitu banyaknya sampah berserakan di jalanan ibukota. Kebiasaan buang sampah sembarangan ternyata menjangkiti hampir semua lapisan masyarakat Jakarta. Masih banyak warga ibukota yang dengan wajah tanpa dosanya, membuang sampah seenak sendiri. Merasa tidak bersalah. Seakan itu adalah hal yang lumrah. Apa sulitnya berupaya mencari tempat sampah dan membuang sampah pada tempatnya? Miris melihat orang dengan seenaknya membuang sampah keluar dari jendela mobilnya. Apa susahnya jika mereka menyediakan tempat sampah di dalam mobil? Mungkin yang ada di benaknya, “Ah, nanti juga akan ada penyapu jalan yang akan membersihkannya”.

sampah407834@

Buang sampah sembarangan

Ini salah satu budaya kampung yang melanda Jakarta. Membuang sampah sembarangan di kampung belum terlalu menjadi masalah karena sampah yang dibuang terkadang hanya sampah organik seperti kulit jeruk, sisa makanan, dan sampah organik lainnya. Di buangnya pun ke tanah yang masih dapat secara alami terurai dengan sendirinya. Jangan coba terapkan di Jakarta. Dengan jumlah penduduk yang sangat besar dan jenis sampah dan tempat pembuangan yang berbeda, hasilnya akan sangat berbeda. Jenis sampah yang dibuang ke jalanan oleh warga ibukota lebih banyak berupa sampah plastik, dan sampah anorganik lainnya yang tidak akan terurai secara alami.

2.  Sungai adalah tempat sampah besar

Sungai masih dianggap sebagai halaman belakang rumah. Masih tertanam budaya kampung yang menganggap halaman belakang adalah “wilayah kotor”. Ini pula yang dibawa ke Jakarta dan penerapannya salah. Karena dianggap sebagai wilayah belakang, sampah dengan bebasnya dibuang ke halaman belakang. Sungai dianggap sebagai tempat sampah raksasa. Mungkin mereka beranggapan, dengan membuangnya ke sungai, akan mengalir terus dan terbawa ke laut. Memang laut tempat sampah? Pernah menonton satu tayangan di televisi, ketika ditanya alasan membuang sampah ke sungai, dengan polosnya, pelaku menjawab, “ Di lingkungan sini, semua juga seperti itu. Membuang sampah ke sungai”.  Ternyata masih diperlukan sosialisasi dari hal-hal kecil, hal-hal yang kita anggap sepele.

_MG_9635

Anggapan bahwa sungai atau kali adalah tempat sampah besar

3.   Berkegiatan di sungai

Jangan bawa budaya kampung yang satu ini ke Jakarta. Budaya mandi, mencuci, bahkan membuang hajat di sungai tidak dapat diterapkan di sungai-sungai yang ada di Jakarta. Kondisinya sangat berbeda. Dapat dipastikan, hasilnya pun akan berbeda. Sungai-sungai di Jakarta sudah sangat tercemar. Tapi masih saja terdapat sebagian warga yang dengan alasan keterpaksaan, masih berkegiatan di sungai. Masih banyak yang menggunakan sungai sebagai tempat mencuci dan buang hajat.

ciliwung

Berkegiatan di sungai yang telah tercemar

4.   Hidup dan berkehidupan dalam satu lokasi

Dalam buku Jo Santoso,  “Kota Tanpa Warga”,  terdapat salah satu alasan mengapa Jakarta masih layak diberi label Kampung Besar. Menurut Jo Santoso, bagi masyarakat yang tinggal di kampung, bekerja dan bermukim (working and living) adalah dua hal yang terintegrasi. Ternyata itu berlaku di Jakarta. Masih terdapat sebagian warga marjinal yang tinggal di emperan, tidur di emperan. Seluruh kegiatan rumah tangga dilakukan di emperan. Bekerja pun di emperan. Atau, kalau pun tidak di emperan, di sekitar emperan.

IMG00133-20130615-1320

Bekerja dan tinggal di emperan

5.   Merokok di tempat umum

Ini juga salah satu yang menyebalkan. Merokok di tempat umum. Ingin rasanya meneriakkan, “Kalau mau meracuni diri sendiri, tidak usah ngajak-ngajak orang lain!”. Apalagi jika merokok seenaknya di ruangan yang ber-AC atau di kendaraan umum yang tengah disesaki penumpang. “Kok ya masih sempat-sempatnya merokok..”. Larangan merokok di tempat umum sepertinya hanya angin lalu. Budaya kampung yang tidak tepat jika diterapkan serta merta di Jakarta. Di kampung, mungkin dapat lebih leluasa merokok. Udara masih segar, asap buangan rokok masih dapat terserap oleh tanaman-tanaman sekitar atau hilang tertiup angin. Jangan terapkan di Jakarta, apalagi dalam ruangan yang penuh sesak.

rokok2xd

Merokok di tempat umum

6.    Menempati lahan-lahan kosong

Awalnya mendirikan bangunan sementara, bedeng-bedeng dari kayu dan triplek. Lama kelamaan berdirilah bangunan semi permanen. Akhirnya menjadi bangunan permanen. Menempati lahan-lahan kosong, milik pemerintah atau ruang publik lainnya. Bisa di bantaran sungai, pinggiran rel kereta api, bawah jembatan penyeberangan, maupun lahan-lahan kosong lainnya.  Sulit untuk dipindahkan. Merasa bahwa lahan tersebut adalah lahan mereka. Kalau sudah seperti ini, akan lebih sulit untuk mengatasinya. Jokowi-Ahok perlahan tapi pasti berusaha keras untuk memindahkannya. Terlihat ketidakberdayaan pemerintah dan warganya dalam menegakkan konsensus bersama atas “ruang publik”. Ketiadaan kesepakatan tentang yang boleh terbangun dan boleh dilakukan di ruang publik. Mungkin juga lebih pada ketidakberdayaan warga karena ketiadaan pilihan yang lebih baik.

SAMSUNG CSC

Menempati lahan di bantaran sungai

Inilah potret Jakarta kita. Sebuah Kota Metropolitan yang layak dijuluki Kampung Besar. Walaupun kota namun masih memiliki budaya kampung. Kota yang senantiasa menarik bagi orang-orang yang ingin mengadu nasib, mengais rejeki, serta mencoba meraih asa dan cita. Jakarta menjadi kota yang menjadi harapan ketika kota dan desa lain di pelosok tidak mampu memenuhinya.

Yang diperlukan adalah penyadaran masyarakat. Sadar mulai dari hal-hal yang kecil, seperti yang dipaparkan di atas. Sadar bahwa kita hidup bersama di kota, Kota Metropolitan. Konon, kota merupakan pusat peradaban, mengajak kita semua untuk menjadi lebih beradab, lebih sadar akan perilaku yang dapat diterapkan di sebuah kota. Selamat pagi. Salam. (Del)

Sumber Foto:

1. Buang sampah sembarangan

2. Buang sampah di sungai

3. Berkegiatan di sungai

4. Bekerja dan tinggal di emperan, dokumen pribadi

5. Merokok di tempat umum

6. Menempati bantaran sungai

Kata Siapa Hidup di Jakarta itu Susah?

Mungkin sempat terlintas di benak, “Mengapa orang dari luar Jakarta berbondong-bondong pergi ke Jakarta? Mengapa mereka rela mengerahkan segala daya dan upaya guna mengecap kehidupan dan pekerjaan di Jakarta? Mengapa Jakarta masih menjadi magnet bagi daerah lain?“ Ternyata jawabannya sederhana. Karena hidup di Jakarta itu sangat gampang.  Tidak percaya? Coba simak terus artikel ini.

Kata siapa hidup di Jakarta itu susah? Hidup di Jakarta sangat gampang. Camkan. Yang dibutuhkan hanya sedikit lebih kreatif. Tidak usah khawatir, budaya kreatif merupakan spesialisasinya orang Jakarta. Orang yang tinggal di Jakarta, karena kondisi dan situasi, dapat berubah menjadi lebih kreatif. Hanya sayang, terkadang kreativitasnya disalahgunakan. Sedikit kebablasan.

Setidaknya, terdapat beberapa pekerjaan yang menjadi bukti bahwa hidup di Jakarta itu gampang. Tidak perlu modal besar, bahkan tidak perlu pakai korupsi segala. Modalnya sangat murah meriah. Yang diperlukan sekali lagi, hanya kreativitas dan keberanian. Bahkan sedikit kenekatan.

1.   Modal Jari

Kota mana lagi coba yang dapat mengakomodasi jenis pekerjaan seperti ini? Modalnya sangat simpel. Hanya bermodalkan jari. Itulah istimewanya Jakarta. Hanya dengan bermodalkan jari, uang pun didapat. Pelakunya cukup berdiri di lokasi-lokasi tertentu di pinggir jalan lalu acungkan jari telunjuk ke arah mobil yang lewat. Jika beruntung, tanpa perlu korupsi pun, dapat turut menikmati empuknya beragam mobil mewah, bahkan mendapatkan uang. Jika ingin mendapatkan uang lebih, bawalah serta anak. Bisa anak sendiri, anak tetangga, atau anak pinjaman juga boleh. Tapi ingat, kali ini jari yang diacungkan jangan hanya telunjuk, tapi telunjuk dan jari tengah. Hasilnya, pasti akan lebih lumayan dibandingkan dengan hanya bermodalkan jari telunjuk saja. Satu hal yang perlu diingat. Jangan cuma acungkan jari tengah, apalagi jika jari tengahnya menghadap ke atas. Nanti ada orang yang ngamuk atau marah. Artinya akan sangat berbeda.

Joki 3 in 1, sebuah jenis pekerjaan hasil kreativitas warga Jakarta. Produk kreativitas kebablasan untuk mengakali celah yang dihasilkan dari sebuah kebijakan. Kebijakan yang semula diperuntukkan untuk mengurangi kemacetan di jalan-jalan utama Jakarta, ternyata justru menjadi ladang pekerjaan bagi sebagian orang. Efektifkah hasil kebijakan tersebut? Sepertinya tidak. Tapi, setidaknya memberikan alternatif pekerjaan.  Walau terdengar seperti sebuah ironi.

2.   Modal Botol Mineral Isi Pasir

Ternyata botol bekas air mineral, di tangan orang yang kreatif dapat menjadi modal untuk menghasilkan uang. Tinggal isi dengan pasir, goyangkan ikut irama, lalu bernyanyilah. Lokasi praktiknya bisa di seputar lampu merah, di atas bis kota, bahkan di warung-warung makan kaki lima. Yang diperlukan hanya keberanian, dipoles sedikit kenekatan, plus simpan rapi rasa malu. Rasa malu hanya akan menghambat rejeki. Lagunya terserah, bebas merdeka. Tapi, sekedar saran, sebaiknya kerahkan segala kemampuan bernyanyi yang dimiliki. Kalau perlu, ikut les vocal dulu. Lha..kalau begini, modalnya besar dong? Masalahnya, terkadang sebal juga kalau melihat pengamen modal botol mineral nyanyi seperti orang yang gak niat. Kita pun jadi gak niat ngasih imbalan. Rugi.

3.  Modal Menor

Sering kita temui segerombolan pria yang berdandan ala wanita di perempatan-perempatan jalan tertentu, seperti di kawasan Cempaka Mas. Syaratnya, harus berdandan menor, baju seksi, dan menarik perhatian. Lebih mantap lagi jika ditambah dengan lenggok gemulai, sedikit melambai, dan suara yang distel pada frekwensi perempuan. Menjadi  pol jika dilengkapi dengan modal kecrek untuk mengiringi nyanyian atau hanya sekedar menyapa para pengendara mobil maupun motor. Tidak lupa sambil menyapa kenes, “Bagi duitnya dong Om….”. Dijamin, Om-om tersebut akan segera menyodorkan uang. Bukan apa-apa, mereka punya alasan mengapa mau berbaik hati. Ternyata alasannya, “Risih juga dicolek-colek. Emang saya apaan?”.

Apakah harus menjadi waria dulu untuk menjalankan pekerjaan ini? Ternyata tidak. Tidak semua orang tipe modal menor ini merupakan waria. Sebagian di antaranya hanya pura-pura menjadi waria. Ketika ditelisik lebih jauh, mereka normal-normal saja. Dengan bangganya seolah mereka ingin menyerukan, “Kami profesional lho….!”.

4.   Modal Payung

Musim hujan adalah musim panen bagi mereka. Cukup dengan bermodalkan payung, sudah dapat beroperasi. Biasanya dijalankan oleh anak-anak hingga remaja. Walau tidak tertutup kemungkinan dilakoni pula oleh kaum dewasa. Sekalian bermain hujan-hujanan. Tugasnya sederhana, hanya meminjamkan payung pada sang pengguna jasa ke tempat yang mereka mau. Jangan salah. Harus diikuti kalau tidak ingin payungnya terbawa pulang konsumen. Kalau mau lebih cerdas, cobalah modal dua payung. Jadi tidak harus kehujanan ketika payung yang satu sedang dipakai pengguna jasa.

5.   Modal Karung dan Pengait

Kerjanya mudah. Modalnya murah. Hanya bermodalkan karung dan pengait. Ditambah dengan mata yang jeli dan cerdas melihat dan menilai objek atau target sasaran. Umumnya pasukan karung dan pengait ini jeli dalam mencari barang-barang yang mereka anggap “berharga”. Karena di sanalah tumpuan penghasilannya.

Sebenarnya, Ahok dulu memiliki ide untuk memberdayakan pasukan bermodal karung dan pengait sebagai pasukan kebersihan. Hanya entah mengapa tidak terwujud. Pada dasarnya profesi ini dapat dikatakan pasukan kebersihan juga. Toh mereka pun kerjaannya memulung sampah-sampah. Bahkan terkadang ada beberapa yang telah melacurkan profesinya. Tidak hanya menjadi pemulung sampah atau barang-barang yang tidak terpakai. Tapi juga sekaligus menjadi “pemulung segala yang ada”. Ini yang namanya kreativitas yang kebablasan.

6.   Modal silet

Kalau yang ini cukup menyeramkan. Modalnya juga sama, sangat murah. Cukup dengan bermodalkan silet ditambah dengan keberanian dan kenekatan.  Modusnya, dengan berbekal silet, naik ke dalam bus sasaran, mulai beraksi. Pasang tampang sedikit mabuk, muka preman, lalu mulai menyayat-nyayat lengan tangan dengan menggunakan silet sambil mengintimidasi dan meminta uang. Biasanya ditambah ocehan, “Jangan takut, kami hanya mantan narapidana yang bermaksud mencari uang”. Penumpang perempuan umumnya merasa ketakutan dan pastinya lebih memilih untuk memberikan uang. Akhirnya rencana mereka pun berhasil.

7.   Modal Muka Memelas

Sangat sederhana dan modal yang diperlukan sangat minimal. Minimal memiliki baju yang dibuat rombeng, compang-camping, lusuh, kucel, dekil. Kalau perlu, demi untuk lebih meyakinkan, bisa ditambah dengan akting pura-pura cacat. Entah itu pura-pura buta, pura-pura lumpuh, atau kepura-puraan lainnya. Seorang teman pernah tertipu mentah-mentah. Dia berhasil memergoki pengemis yang pura-pura lumpuh ternyata memiliki kaki yang normal dan sempurna.

Mengapa semua itu harus dilakukan? Karena konon katanya, bisnis mengemis sudah mulai banyak yang menekuni secara profesional. Penghasilan yang diperoleh bisa jadi melebihi seorang lulusan muda S1. Inilah yang menjadi alasan mengapa pengemis di Bandung dan sekitarnya menolak ketika ditawari gaji oleh Walikota nya, Ridwan Kamil. Jakarta pun demikian.

Sangat ironis. Haruskah kita merasa miris?

Masih banyak lagi ladang-ladang pekerjaan di Jakarta yang sangat mudah ditemui. Jadi, kata siapa hidup di Jakarta itu susah? Susah atau mudah, suka atau tidak suka, senang atau tidak senang adalah relatif. Tergantung cara kita memandangnya. Salam. (Del)