Monas Bukan Tempat Gantung Anas

Gambar

Tentunya masih teringat beberapa waktu yang lalu ketika Anas Urbaningrum dengan lantangnya mengatakan, “Satu rupiah saja Anas korupsi Hambalang, gantung Anas di Monas!”. Pernyataan itu pun sontak menarik perhatian. Semua seolah memiliki hak untuk berkomentar dan memberikan tanggapan. Monas dan Anas naik ke permukaan berita.

Saat ini Anas telah ditahan dan kasus terus bergulir, namun biarkan Monas tetap pada fungsinya. Monas bukan tempat untuk gantung Anas atau gantung siapapun. Monas bukan tempat untuk eksekusi hukuman bagi siapapun. Monas harus tetap pada fungsi dan peruntukannya sebagai ruang terbuka hijau sekaligus  sebagai ruang publik. Ruang yang semakin hari terasa semakin sulit ditemui.

Tidak usah heran, berdasarkan data yang ada, saat ini Jakarta hanya memiliki ruang terbuka hijau seluas 9,8% dari total luas Jakarta. Untuk mencapai besaran 16 % seperti yang diamanatkan dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) DKI Jakarta, masih diperlukan tambahan 6 %  ruang terbuka hijau. Jakarta masih memerlukan upaya yang sangat keras untuk menggapai angka tersebut. Sebagai gambaran, dengan total luas wilayah DKI Jakarta 661,52 km2, setiap tambahan 1% RTH, dibutuhkan lahan seluas 6,6 km2. Bahkan jika mengikuti aturan yang tercantum dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, seharusnya ruang terbuka hijau yang disediakan 30 %, yang terdiri dari 20 % RTH publik dan  10 % RTH privat. Artinya, PR Jakarta masih jauh lebih berat lagi. Jakarta harus berupaya untuk menyediakan ruang terbuka hijau yang lebih luas lagi.

Gambar

Gambar

Sabtu pagi yang lalu, menyempatkan diri untuk berolah raga, sekedar joging di seputar Monas. Jakarta sedang dalam cuaca yang sangat cerah. Lalu lintas di Sabtu pagi belum terlalu menggeliat. Mungkin warga Jakarta sebagian masih terlelap dalam tidurnya, menyambut libur panjang akhir pekan.

Gambar

Memasuki pelataran Kawasan Monas, langsung dihadapkan pada kenyataan yang membuat miris. Fungsi Monas sebagai ruang terbuka hijau dan sebagai ruang publik seolah telah memiliki interpretasi yang salah kaprah. Mata seolah dihadapkan pada kenyataan, bahwa pelataran Monas telah benar-benar difungsikan sebagai “ruang publik” dalam arti yang keliru. Pelataran sekitar Monas seakan menjadi ruang bagi siapapun warga/publik yang ingin turut hidup dan meneruskan kehidupannya di sana. Beberapa keluarga terlihat berkegiatan dan tidur di sana. Di sini lah salah kaprahnya. Ruang publik bukan berarti dapat dimiliki/dikuasai seenaknya oleh publik. Kalau begini, sudah berganti fungsi menjadi ruang privat bagi sebagian orang yang tidur dan tinggal di sana. Entah siapa yang patut disalahkan. Mungkin mereka tidak memiliki pilihan yang lebih baik.

Gambar

Tidak terlalu jauh dari sana, masih di seputaran Monas, perasaan miris semakin menjadi. Di pagi yang cerah itu, mata kembali dibuat tidak nyaman dengan pemandangan yang terpampang. Lebih dari sepuluh taksi tampak terparkir tak beraturan di area luar Monas. Yang lebih menyedihkan, sampah teronggok di mana-mana. Tersebar seolah menjadi penghias jalanan. Inilah Kota Jakarta, sebuah Kota Metropolitan yang masih berbudaya kampung.

Gambar

Gambar

Tidak berhenti di sana, aneka pedagang kaki lima dengan jumlah yang cukup banyak terus merangsek ke jalan. Sudah mulai mengokupasi badan jalan. Saat ini mungkin tidak terlalu mengganggu. Tapi, saya yakin, bila terus dilakukan pembiaran, akan mendatangkan permasalahan yang lebih besar di kemudian hari. Siapa yang akan bertanggung jawab?

Gambar

Ah sudahlah, tidak usah terlalu larut. Ini saatnya untuk menikmati indahnya sore. Saatnya untuk mengerjakan berbagai hal lainnya. Jangan sampai aneka pemandangan tersebut merusak hari.  Selamat sore… Salam. (Del).

Banjir di Jakarta itu Wajar

Hujan deras yang melanda Jakarta pagi ini pasti membuat banyak orang yang tinggal di kawasan Jakarta mengurungkan niatnya untuk pergi ke tempat kerja atau ke tempat aktivitasnya sehari-hari. Selain karena sibuk mengurusi air yang bagai tamu tak diundang, masuk tanpa permisi, juga karena sulitnya keluar dari kawasan rumah. Genangan ada di mana-mana. Kemacetan menjadi kepastian mutlak. Itu pula yang saya alami. Libur atau tepatnya meliburkan diri di hari yang penuh banjir ternyata tetap menyisakan hikmah. Paling tidak, dapat menulis dengan tenang di rumah.

Gambar

Musim banjir tahun ini tak kalah heboh dengan tahun yang lalu. Untuk beberapa lokasi, semakin parah. Menggelitik dan menggerakkan hati untuk kembali menelisik ruang Jakarta, dan akhirnya sampai pada kesimpulan. Banjir di Jakarta  itu wajar. Jadi tidak perlu terlalu heran, tidak perlu terlalu terkejut. Banjir di Jakarta itu suatu hal yang pasti.

Kok bisa? Berikut beberapa alasannya:

1.    Jakarta sudah menjelma menjadi belantara beton

Untuk warga yang telah lama tinggal menetap di Jakarta, akan dengan mudah merasakan secara jelas perbedaannya. Cobalah sedikit mengingat-ingat kondisi Jakarta 10 tahun yang lalu dan bandingkan dengan kondisi Jakarta sekarang. Pasti akan menyadari bahwa kawasan terbangun di Jakarta telah meningkat dengan pesat. Ruang terbuka telah berganti menjadi kawasan terbangun. Gedung-gedung seakan berlomba untuk membelah langit Jakarta, semakin tinggi, semakin banyak. Skyline Jakarta telah berubah. Jakarta telah berubah menjadi belantara beton. Maraknya dan masifnya pembangunan fisik terutama di sektor properti,  baik berupa hunian horisontal maupun vertikal, menjadi penyumbang besar. Semakin banyaknya kawasan terbangun yang tidak mempertimbangkan kebutuhan ruang resapan air menjadi salah satu penyebabnya.

2.   Ruang Terbuka Hijau hanya 9 %

Saat ini, ruang terbuka hijau yang ada di Jakarta hanya 9,8% dari total luas Jakarta. Untuk mencapai besaran 16 % sesuai dengan yang diamanatkan dalam RDTR DKI Jakarta, masih diperlukan tambahan 6 %  ruang terbuka hijau. Jakarta masih memerlukan upaya yang sangat keras untuk mencapai hal itu. Sebagai gambaran, dengan total luas wilayah DKI Jakarta 661,52 km2, setiap tambahan 1% RTH, dibutuhkan lahan seluas 6,6 km2. Bahkan jika mengikuti aturan yang tercantum dalam UU Penataan Ruang, seharusnya ruang terbuka hijau yang disediakan 30 %, yang terdiri dari 20 % RTH publik dan  10 % RTH privat. Bagaimana air dapat cepat meresap ke dalam tanah jika ruang terbuka hijau nya hanya tersisa 9 % saja?

3.   Perambahan wilayah sempadan sungai

Cobalah tengok kawasan-kawasan di pinggir-pinggir sungai yang ada di Jakarta. Sangat mudah ditemui bangunan-bangunan yang berada persis di pinggir sungai, tanpa jarak sama sekali. Bahkan banyak di antaranya berada sedikit di atas sungai. Tak usah heran jika sangat rawan terkena banjir. Wilayah sempadan sungai selayaknya tidak boleh terbangun. Dilarang mendirikan bangunan di kawasan-kawasan sempadan sungai.

4.   Pertambahan jumlah penduduk

Jakarta merupakan kota terbuka. Jakarta tetap masih menjadi magnet bagi warga yang berada di sekitar Jakarta maupun orang-orang yang berada jauh dari Jakarta untuk hidup dan mencari penghidupan di Jakarta. Jumlah penduduk Jakarta yang terus bertambah tentunya sangat berpengaruh pada daya dukungnya. Jakarta sudah tidak sanggup menampung lonjakan penduduk. Tidak usah heran jika daya dukung Kota Jakarta terus merosot. Kondisi lingkungan di Kota Jakarta semakin memprihatinkan.

5.   Buruknya implementasi rencana tata ruang

Jakarta seharusnya sedikit bernafas lega karena telah memiliki Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta No. 1 tahun 2012, bahkan memiliki Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) DKI Jakarta yang telah mendapatkan kesepakatan dengan DPRD pada tanggal 12 Desember 2013.  RDTR ini selayaknya dapat dijadikan tonggak untuk membenahi Kota Jakarta karena di dalamnya telah memuat aturan zonasi ruang Jakarta yang dituangkan dalam peta zonasi untuk seluruh wilayah DKI Jakarta. Penegakan hukum tetap menjadi salah satu panglima. Buruknya implementasi rencana tata ruang di masa lalu dan lemahnya penegakan hukum sepatutnya tidak terjadi lagi. Jika konsekuen menerapkan RDTR yang telah ditetapkan, setidaknya ruang yang diidamkan dapat terwujud.

6.   Perubahan peruntukan di wilayah hulu

Jakarta memang tidak dapat menangani banjir seorang diri. Perlu penanganan lintas wilayah. Masalah banjir terkait erat dengan wilayah lainnya, terutama di kawasan hulunya. Perubahan peruntukan yang terjadi secara masif di kawasan Puncak, Bogor dan sekitarnya sangat mempengaruhi. Kawasan resapan air di bagian hulu telah berkurang secara drastis. Tidak perlu terlalu heran jika Jakarta menanggung akibatnya. Tidak perlu terlalu menyalahkan wilayah lain pula, karena warga Jakarta pun memiliki andil di dalamnya. Sebagian besar vila-vila di kawasan Puncak dan Bogor dimiliki oleh orang Jakarta.

7.   Budaya dan perilaku masyarakat yang tidak mendukung

Selain faktor teknis yang menjadi penyebab, masih ada faktor lain yang justru mengambil porsi yang sangat besar, yaitu terkait budaya dan perilaku masyarakat Kota Jakarta yang belum mendukung. Jakarta merupakan Kota Metropolitan yang layak dijuluki sebagai Kampung Besar. Tidak ada yang salah dengan sebutan Kampung Besar, yang membuat miris adalah budaya kampung yang masih melekat erat Tidak semua budaya kampung buruk. Banyak pula budaya kampung yang baik. Budaya gotong royong, kebersamaan, kekeluargaan, dan budaya kampung lainnya, layak diterapkan di Jakarta. Yang menjadi masalah adalah penerapan budaya kampung yang tidak tepat. Pengaplikasiannya tidak sesuai dengan lingkungan yang ada, yaitu lingkungan perkotaan. Mulai menjurus tidak hanya budaya kampung, melainkan kampungan. Dapat dilihat di tulisan lainnya tentang Jakarta Kota Metropolitan dengan Budaya Kampung.  Sangat mudah menjumpai warga Jakarta yang membuang sampah sembarangan dan menganggap sungai sebagai tempat sampah besar dan menempati lahan-lahan kosong yang seharusnya terlarang untuk hunian.

Jadi, jika banjir melanda Jakarta, itu adalah hal yang wajar. Jakarta semakin tidak ramah dan tidak nyaman merupakan akibat yang sangat wajar terjadi.  Curah hujan yang tinggi, saluran air yang tidak memadai, buruknya sistem drainase perkotaan, pendangkalan sungai, perambahan wilayah sempadan sungai menjadi hunian dan bangunan lainnya, menyusutnya ruang terbuka hijau, pembangunan yang sangat masif terjadi, budaya dan perilaku warga yang masih memprihatinkan serta banyak hal lainnya menjadi penyebabnya.

Apalagi ya…? Ah, sudahlah, itu dulu. Hujan telah reda, saatnya untuk mandi. Hehehe.. apa hubungannya? (Del)

Sumber Foto : http://whatindonews.com/id/post/15999/antisipasi_banjir_jakarta__bnpb_siapkan_tmc

Julukan Wagiman untuk Tri Rismaharini Tidak Sia-Sia, Kembali Raih Penghargaan

Ini kali ketiga menulis tentang sosok Tri Rismaharini. Tri Rismaharini, wanita pertama yang menduduki jabatan Walikota Surabaya telah menorehkan berbagai prestasi tidak hanya dalam lingkup Kota Surabaya. Gaungnya sudah mulai merambah Nasional, bahkan mulai dilirik prestasinya oleh dunia Internasional. Ternyata julukan Wagiman, Walikota Gila Taman yang disematkan padanya tidak sia-sia. Memang demikianlah adanya. Wanita perkasa ini sepatutnya bangga dengan julukan tersebut. Justru dengan keseriusannya dan sentuhannya pada taman-taman di Kota Surabaya telah membawanya pada berbagai penghargaan dari dalam maupun luar negeri.

Tidak sedikit taman yang telah disentuhnya, misalnya Taman Bungkul di Jalan Raya Darmo dengan konsep all-in-ine entertainment park nya. Taman Bungkul telah dilengkapi berbagai sarana pendukung taman, antara lain jogging track, tempat bermain untuk anak-anak, Wi-Fi, amphitheatre, serta beragam sarana olah raga lainnya. Semua dapat diakses oleh warga secara gratis. Kekuatan taman tersebut terletak pada terintegrasinya penataan taman sebagai fasilitas publik yang relatif lengkap dengan tetap terjaganya geliat ekonomi yang mengiringinya. Para pedagang makanan tetap mendapatkan tempat. Harmonisasi ruang publik, kegiatan ekonomi, maupun kegiatan budaya dan religi menjadi nilai plus Taman Bungkul.

Julukan Wagiman semakin tepat untuknya.  Kini Taman Bungkul telah menjadi taman terbesar dan terkenal di Kota Surabaya.  Taman Bungkul pula yang akan membawanya ke Jepang. Taman Bungkul Surabaya meraih penghargaan di tingkat Internasional. Penghargaan tersebut rencananya akan diterima oleh Bu Risma pada tanggal 26 November 2013 di Fukuoka, Jepang.

Tidak perlu terlalu kaget, selain terobosannya pada berbagai lini pembangunan di Kota Surabaya, Bu Risma memang memiliki kepedulian penuh pada ruang terbuka hijau, yaitu pada taman-taman maupun jalur hijau. Kota Surabaya yang dulu terkenal sebagai kota yang sangat panas, perlahan telah berubah menjadi lebih teduh, lebih rindang, lebih hijau, dan lebih nyaman. Kepeduliannya pada penataan taman-taman yang ada tidak terlepas dari latar belakangnya. Sebelum menjabat sebagai Walikota Surabaya, beliau pernah menjabat sebagai Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) dan Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota (Bappeko). Beliaulah dalang dan yang bertanggung jawab atas bersih, hijau, dan asrinya Kota Surabaya. Beliau bertekad untuk menjadikan Surabaya sebagai Kota Sejuta Taman dan itu tampaknya telah menunjukkan hasil. Kota Surabaya tercatat berhasil meraih Piala Adipura tahun 2011. Beliau juga ternyata pernah menjadi salah satu nominasi Walikota terbaik di dunia tahun 2012 melalui “2012 World Mayor Prize” yang diselenggarakan oleh The City Mayors.  World Mayor Prize merupakan penghargaan yang diberikan atas prestasi yang dicapai oleh walikota dalam memajukan kota yang dipimpinnya. Beliau dinilai berhasil menata Kota Surabaya menjadi kota yang bersih dan tentunya penuh dengan taman.

Tidak hanya itu saja. Surabaya pun baru mendapat penghargaan Kota Sehat Swasti Saba Padapa. Surabaya mendapatkan penghargaan tersebut karena Surabaya dianggap sebagai Kota yang secara konsisten berupaya mewujudkan lingkungan yang bersih. Pemerintah Kota Surabaya dinilai konsisten melakukan inovasi dalam penataan Ruang Terbuka Hijau, pengelolaan sampah, dan tindakan-tindakan hemat energi. Pemerintah Kota juga dinilai memberikan fasilitasi pada peningkatan derajat kesehatan jasmani dan rohani warga kota dengan mengimplementasikan gagasan pengembangan kota yang sehat, bersih dan mandiri.

Peran media memang sangat dahsyat. Jika dulu belum terlalu banyak orang luar Surabaya yang mengenal sosok Tri Rismaharini, berbeda halnya dengan sekarang. Perlahan tapi pasti, Wagiman menyeruak ke deretan para pemimpin Indonesia yang cukup mencerahkan. Saya pribadi selalu tertarik untuk terus memunculkan tokoh-tokoh yang menyejukkan. Tokoh yang diharapkan dapat menginspirasi para pemimpin lainnya. Agar para pemimpin lebih amanah dalam mengemban tugas dan tanggung jawabnya. Indonesia masih memiliki setitik harapan, secercah asa, di tengah carut marut Negeri. Kita masih dapat menggantungkan harap di tangan para pemimpin yang membaktikan diri untuk Negeri. Untuk menggapai Indonesia yang lebih baik. Semoga. (Del)

Tulisan lain tentang Tri Rismaharini:

1. Jokowi Harus Mencontoh Wagiman

2. Dua Pemimpin Jempo: Sayang Wagiman Tidak Sekondang Jokowi

Indahnya Bali Terasa Hingga ke Taman Ujung

Bali selalu menyisakan obyek indah yang sayang untuk dilewatkan. Berkali-kali ke Bali, selalu saja ada tempat-tempat yang terluput. Masih banyak obyek-obyek yang layak untuk dikunjungi dan dieksplorasi. Salah satunya adalah obyek wisata yang terletak di ujung timur Pulau Bali, di Kabupaten Karang Asem. Di sana, terdapat satu taman indah, Taman Soekasada, atau lebih dikenal dengan nama Taman Ujung. Lokasinya terletak hanya sekitar 2 jam perjalanan santai lewat darat dari Kota Denpasar ke arah Timur atau sekitar 10 menit dari Kota Amlapura, ibukota Kabupaten Karang Asem.

Gambar

Taman Soekasada atau Taman Ujung yang terdapat di Kabupaten Karangasem

Gambar

Jalan lingkungan yang rapi dan resik. Sangat mengagumkan

IMG00770-20130913-1223

Deretan pohon kemboja yang sarat bunga, khas Bali

Taman Ujung merupakan sebuah taman air dan “istana terapung”. Memasuki kawasan Taman Ujung, kita langsung disergap oleh suguhan indahnya pemandangan. Taman dengan luas kurang lebih 10 Ha sangat cukup untuk tempat berjalan-jalan atau sekedar menikmati arsitektur Bali sambil berfoto ria.

Gambar

Taman Soekasada atau Taman Ujung

Gambar

Kolam besar di tengah area Taman Ujung

Menurut sejarahnya, Taman Ujung dibangun pada masa penjajahan Belanda atas perintah salah satu Raja Karang Asem sebagai hadiah bagi sang permaisuri. Sempat porak poranda karena letusan Gunung Agung di tahun 1963, akhirnya direnovasi besar-besaran dengan melakukan pembangunan  kembali sesuai dengan wujud aslinya. Renovasi selesai tahun 2003 dan Taman Ujung resmi dibuka untuk umum sebagai salah satu obyek wisata andalan di Bali Timur.

Dari Taman Ujung, kita dapat melihat laut biru Bali Timur dengan latar panorama Gunung Agung serta hamparan sawah nan luas dan subur. Terdapat taman-taman yang luas dengan dua buah kolam besar di dalamnya.  Taman-taman yang ada tampak sangat resik, bersih, tanpa tercemari oleh sampah. Paduan keresikan dan indahnya taman sangat mempesona. Ditambah dengan paduan arsitektur Bali dan Eropa. Taman Soekasada atau Taman Ujung  menarik karena nilai sejarah dan indahnya panorama. Terletak tidak jauh dari pantai dan berada di ketinggian. Terpapar laut biru dan lukisan langit yang membiru dengan motif awan putihnya. Gunung Agung turut menyumbang keindahan lukisan alam dengan berdiri tegak di latar belakang.

Taman Ujung dulunya merupakan istana air yang sengaja dibangun bagi raja untuk menyambut tamu-tamu penting maupun para raja dari kerajaan lainnya. Sebuah jembatan yang terbuat dari beton, dengan kokoh menghubungkan area parkir dan area istana. Di ujung jembatan tampak taman yang sangat luas. Taman dihiasi dengan rumput dan bunga-bunga. Juga terdapat bangunan kecil di tengah kolam utama yang terhubung oleh dua jembatan di sisi kiri dan kanan. Di sana terdapat foto-foto lama Taman Ujung dan juga beberapa foto keluarga kerajaan.

Terik mentari sedang galak-galaknya menyapa bumi. Namun itu tidak membuat kehilangan semangat untuk mengambil foto. Ternyata menurut petugas di sana, Taman Soekasada atau Taman Ujung ini merupakan tempat favorit untuk pemotretan pre-wedding. Biar panas terik melanda pasangan pengantin harus mau menebar senyum.

Saran saya, jika berkunjung ke Taman Soekasada, sebaiknya tidak lupa membawa topi, kacamata hitam, dan air minum. Diperbolehkan pula untuk membawa makanan, dengan syarat tidak meninggalkan sampah di area.

Jadi, tertarik untuk berkunjung ke Taman Ujung? Silakan. (Del)

Jokowi dan Ruang Publik Jakarta

Jokowi telah melontarkan janjinya untuk memperbanyak ruang publik yang dapat dipergunakan oleh warga Jakarta. Jokowi menginginkan agar ruang-ruang publik yang ada di Jakarta dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh warga. Apa itu ruang publik?

Jika mengacu pada buku klasik Kevin Lynch yang hingga saat ini tidak pernah lekang oleh waktu, “The Image of The City”, 1960,  ruang publik (public space) dapat sekaligus juga sebagai nodes dan landmark yang berfungsi sebagai alat navigasi/pemandu di dalam kota. Ruang publik dapat berkembang menjadi sebuah icon kota (image of the city). Contoh sederhana, ruang publik berupa sepenggal Orchad Road di Singapura pun dapat menjadi icon Kota Singapura dan sekaligus citra kota. Citra secara umum merujuk pada gambaran atau image. Menurut YB Mangunwijaya, citra pada kawasan perkotaan adalah gambaran pertama yang sangat kuat tentang kota tersebut yang tidak dimiliki oleh kota lain sehingga mudah dikenali.

Menurut Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, ruang publik dapat berupa Ruang Terbuka Hijau Publik atau Ruang Terbuka Non Hijau Publik dan secara institusional harus disediakan oleh pemerintah di dalam peruntukan lahan di kawasan perkotaan. Yang penting pula untuk menjadi perhatian, tidak hanya berhenti pada penyediaan ruang publik, namun juga ruang publik tersebut dapat hidup dan bermakna.

Bagaimana agar ruang publik dapat hidup dan bermakna? Ruang publik yang baik dicirikan oleh tiga hal, yaitu responsif, demokratis, dan bermakna. Responsif mengandung arti bahwa ruang publik dapat dipergunakan untuk berbagai kegiatan dan kepentingan. Demokratis mengandung arti bahwa ruang publik dapat dimanfaatkan oleh masyarakat umum dengan berbagai latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya dan dapat diakses oleh berbagai kondisi fisik manusia. Bermakna mengandung arti bahwa ruang publik harus memiliki keterkaitan antara manusia, ruang, dan dunia luas, serta interaksi sosial yang luas. Untuk dapat menjadikan ruang publik hidup dan bermakna, penuhilah ketiga ciri tersebut.

Ruang publik juga dapat dikatakan sebagai tempat yang dapat dimasuki oleh semua orang tanpa harus membayar. Ruang publik dapat berupa jalan (termasuk pedestrian), tanah perkerasan, public squares, dan taman (park). Untuk itu, ruang publik dapat berupa ruang terbuka hijau publik seperti taman dan ruang terbuka non hijau publik seperti plaza dan public squares. Ruang publik harus menjadi ruang interaksi, sehingga ada aktivitas yang terjadi di dalamnya.

Monas sebagai Ruang Publik Kota Jakarta
Sumber: http://www.megapolitan.kompas.com

Monas merupakan salah satu ruang publik yang ada di Jakarta. Monas juga telah menjadi landmark dan icon Kota Jakarta. Apa kaitannya dengan Jokowi? Jokowi telah menghidupkan ruang publik Jakarta. Monas sebagai ruang publik saat ini sering dijadikan sebagai tempat berlangsungnya perhelatan. Monas telah hidup kembali dan telah dikembalikan maknanya sebagai ruang publik. Sebagai tempat bagi warga Jakarta untuk saling mengenal dan mengakrabkan diri dengan lingkungannya. Masyarakat bisa saling bertemu, berinteraksi, saling sapa, dan saling senyum. Tak hanya itu, roda ekonomi pun turut berputar.

Monas diharapkan tidak hanya secara fisik berupa ruang publik, tidak sekedar menjadi pajangan, penghias, dan landmark semata, namun hidup dan bermakna. Ada pemanfaatan di sana. Beberapa acara perhelatan ulang tahun Jakarta ke-486 diselenggarakan di Monas, bahkan di sepanjang Jalan Thamrin hingga Bundaran HI.

Apresiasi kami haturkan pada Jokowi yang telah menghidupkan kembali, yang telah memberi makna pada ruang publik Jakarta. Tetap kami nantikan pemberian makna pada ruang-ruang publik lainnya. Harapan sepertinya telah mendapatkan titik terang. Jokowi dan Ahok sudah mulai “menggarap” ruang-ruang publik lainnnya. Salut.