Para Amoy pun Bisa Melarat

Gambar

Tidak ada seorang pun yang dapat memilih orang tua yang akan melahirkannya. Tidak seorangoun yang dapat mengetahui dari ras atau suku mana dia akan dilahirkan dan di belahan dunia mana dia akan hadir ke bumi. Ketika hadir di muka bumi, mau tidak mau, suka atau tidak suka, setiap orang harus menerima “takdir”, menerima semua  kenyataan yang telah digariskan.

Saya dilahirkan di sebuah kota kecil di Jawa Barat sebagai keturunan China dan hal itu tidak dapat disangkal ataupun ditolak. Harus tetap disyukuri dan tidak ada yang patut disesali. Walau tidak lahir di keluarga yang kaya, namun hidup di lingkungan keluarga yang tergolong cukup, Cukup untuk mencukupi kebutuhan pokok sehari-hari. Tidak mewah, sederhana saja.

Sejak kecil, yang tergambar di benak adalah persepsi bahwa tidak ada yang namanya seorang keturunan China mengalami kesulitan dalam mencari uang. Tidak ada dalam kamus seorang keturunan China melarat. Sesulit-sulitnya keturunan China, paling tidak masih dapat hidup layak. Masih dapat hidup dengan standar yang lumayan. Setidaknya masih ada di golongan menengah. Persepsi tersebut, terus bertahan hingga selesai kuliah.

Kenyataan berkata lain. Selesai kuliah, mendapatkan tawaran pekerjaan, dan langsung mendapatkan tugas kunjungan kerja ke Kepulauan Riau. Mulailah mata terbuka, tersadar, dan merasa miris.  Kepulauan Riau mempertontonkan kenyataan, memutar-balikkan persepsi sebelumnya yang telah melekat erat dalam benak. Gambaran tentang keturunan China dengan wujud stereotip putih, ulet, pekerja keras, tidak miskin, dan hidupnya tidak susah-susah amat, luntur sudah.  Hilang seketika. Kenyataan berbicara dan terlihat secara langsung dengan mata kepala sendiri. Keturunan China juga banyak yang miskin dan bahkan sangat miskin. Di Kepulauan Riau, dengan mudah dapat ditemui nelayan-nelayan miskin, para buruh, dan para pekerja kasar lainnya. Tidak ada lagi gambaran kulit yang putih. Kulit mereka hitam terbakar mentari. Mereka hidup di permukiman-permukiman yang sangat tidak layak. Miris, tanpa bisa berbuat apapun. Ciri yang masih tertinggal hanyalah mata yang tetap sedikit lebih sipit.

Sejak saat itu, mulai mencari tahu lebih banyak tentang warga keturunan China di Indonesia.  Semakin dibuat miris. Ternyata tidak perlu terlalu jauh pergi ke Kepulauan Riau. Di Tangerang pun banyak warga keturunan China dengan perwujudan sipit, warna kulit yang jauh dari putih, rambut kemerahan terbakar surya, dan miskin atau sangat miskin. Berbagai berita tentang China Benteng di Tangerang dengan segenap cerita menyedihkannya membuat semakin miris hati. Mereka banyak yang menggantungkan mata pencahariannya sebagai nelayan, tukang becak, buruh pasar, pembantu rumah tangga, maupun buruh tani. Hidup di permukiman-permukiman yang jauh dari kata layak.

Beberapa kali kunjungan dalam rangka kerja ke Pontianak, Kalimantan Barat semakin melengkapi gambaran keadaan yang sesungguhnya. Di Pontianak, sangat mudah menemukan para Amoy bekerja sebagai pramuniaga toko, pelayan restoran, resepsionis, atau pelayan-pelayan hotel. Ditambah kenyataan banyak pula Amoy yang karena desakan atas nama “ekonomi” hidup bergelimang kemewahan yang semu.  Bekerja di berbagai dunia hiburan malam, bahkan menggadaikan harga diri, melacurkan diri. Suatu hal yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Semakin miris ketika melanjutkan kunjungan ke Kota Singkawang, masih di Kalimantan Barat. Cerita tentang para Amoy yang mau menggadaikan harga diri, menyediakan diri dinikahkan dengan pria-pria Taiwan sangat mudah ditemui. Banyak yang menggapai kebahagiaan, namun banyak pula yang berakhir dengan derita. Sudah banyak cerita yang mengupasnya. Syukurlah, sudah mulai jauh berkurang. Agak sedikit heran ketika berkunjung ke Kota Singkawang. Para Amoy di sana, paling tidak yang saya temui, rata-rata berdandan sedikit lebih menor, walaupun itu untuk kegiatan sehari-hari. Riasan wajah tetap penuh, lengkap. Rona kecantikan khas oriental mereka sesungguhnya telah terpancar walau tanpa riasan berlebihan.

Itulah sebagian kecil potret warga keturunan China yang ada di Indonesia. Tersebar pada seluruh level ekonomi. Mulai dari yang paling kaya hingga tataran yang miskin sekalipun. Mereka tidak hanya menduduki level-level puncak dalam roda ekonomi. Turut memasuki seluruh lapisan kehidupan. Tidak sedikit yang juga turut menorehkan sejarah bagi negara.  Berupaya berkontribusi dengan caranya masing-masing dan dengan segenap kemampuan yang mereka miliki. Satu hal, semuanya tetap warga Indonesia, bagian dari Indonesia.  Tidak perlu terlalu muluk, cukup terimalah mereka sebagai bagian dari Indonesia, saling membahu untuk kemajuan negeri, tanpa perlakuan yang berbeda.

Selamat Tahun Baru Imlek untuk teman-teman yang merayakan. Gong Xi Fa Cai. Salam. (Del)

Sumber Gambar : http://trendsimages.com/gong-xi-fa-chai-2014/