Memupuk Kebersamaan dan Tekad yang Kuat Seperti Musamus dari Merauke

Musamus di Merauke

Musamus di Merauke

Selain dikenal sebagai Kota Rusa, Merauke juga dikenal karena keberadaan musamus nya. Bahkan ada salah satu universitas di Merauke yang bernama Universitas Musamus. Untuk itu, jika melakukan kunjungan ke Kota Merauke, jangan lewatkan untuk melihat Musamus. Sepertinya belum sah bila sudah berkunjung ke Merauke, namun belum melihat musamus.Apa itu musamus? Penasaran? Ayo kita lanjut…!

Musamus adalah satu karya seni tinggi, hasil kerja keras para arsitek dan developer yang lahir alami di Bumi Merauke. Hasil desainnya berbeda antara satu musamus dengan musamus yang lainnya. Tidak ada yang sama persis. Namun, ada satu garis desain yang menyatukan satu sama lain, yaitu sama-sama berwujud seperti menara atau istana khas musamus yang dibangun oleh koloni rayap. Beda halnya dengan rayap yang sering kita dengar, yang merupakan serangga perusak berbagai jenis benda berbahan kayu, di Merauke, rayap hidup secara mandiri di hutan dan membangun istananya sendiri. Bahan dasar pembuatnya juga sama, berasal dari campuran tanah dan rumput kering sebagai bahan dasar utama serta air liur rayap yang berfungsi sebagai semen/perekat. Dibutuhkan waktu yang lama untuk membangun istana rayap setinggi hingga lima meter tersebut.

Musamus

Musamus

20140521_131507

20140521_131440

Musamus merupakan gundukan tanah berwarna coklat yang dapat mencapai ketinggian hingga 5 meter bahkan lebih. Siapa arsiteknya? Siapa yang membangunnya? Tidak usah heran. Arsitek sekaligus pembangunnya adalah rayap. Musamus dikenal dengan sebutan Rumah Semut. Namun, sebenarnya Musamus merupakan rumah rayap. Rayap lah binatang yang ada di balik keindahan musamus.

Musamus dengan tinggi yang dapat mencapai 5 meter

Musamus dengan tinggi yang dapat mencapai 5 meter

Ada desain unik yang menjadi ciri khas istana rayap. Musamus memiliki lekukan-lekukan seperti buah belimbing yang dipotong pada bagian tengahnya, kemudian ditancapkan di tanah. Warnanya sesuai dengan warna tanah sekitarnya, mulai coklat, coklat kemerahan, hingga coklat tua yang mengerucut hingga ke atas. Walau terbuat dari butiran tanah, permukaan luar Musamus sangat keras, seperti batu. Koloni rayap sebagai arsitek telah mendesain istana rayap dengan ventilasi yang memadai berupa lorong-lorong yang akan melindungi istana dari air hujan, sekaligus melindungi koloni rayap dari panas ketika musim panas tiba. Musamus tahan cuaca, tidak lekang oleh hujan, panas, kebakaran hutan, bahkan gempa sekalipun.

Konon, dulu suku asli  Merauke, yaitu Suku Marind memanfaatkan musamus untuk memasak. Bongkahan Musamus yang kering dibakar hingga panas, lalu digunakan untuk memeram ubi atau daging dalam rangkaian upacara bakar batu.

Beberapa Musamus di tepi jalan

Beberapa Musamus di tepi jalan

Taman Nasional Wasur, Merauke

Taman Nasional Wasur, Merauke

Musamus atau istana rayap dapat ditemui di beberapa tempat di dunia dan khusus untuk Indonesia, musamus mungkin hanya terdapat di Merauke. Kita dapat dengan mudah menemukan Musamus yang berderet  di sepanjang jalan raya yang menuju ke Taman Nasional Wasur dan di beberapa wilayah yang ada di Kabupaten Merauke.

Musamus telah dijadikan sebagai ikon Kota Merauke. Ada pelajaran yang dapat kita petik dari Musamus. Rayap, binatang kecil yang lemah ternyata mampu menghasilkan sesuatu yang luar biasa, mampu menghasilkan sesuatu yang jauh lebih besar. Mereka memiliki tekad yang kuat dan kebersamaan. Bersatu padu secara bersama, dengan tekad yang sama untuk membangun istana bersama, membangun rumah bersama. Kita, sebagai manusia, dengan dibekali akal dan pikiran, juga dapat melakukan hal yang sama. Jika bersatu, bersama-sama, dan memiliki tekad yang kuat untuk Indonesia yang lebih baik. Saya yakin, pasti bisa. Sesuai dengan tagline Merauke : Isakod Bekai Isakod Kai. Artinya, Satu Hati Satu Tujuan. Selamat pagi. Salam. (Del)

 

Makna Lebaran Bagi Non Muslim

Bagi umat muslim, Idul Fitri, atau yang populer dengan sebutan Hari Lebaran, memiliki makna sebagai hari kembalinya kefitrahan manusia. Kembali ke kesucian, kembali fitri. Terkadang Idul Fitri dimaknai seperti bayi yang baru lahir, masih suci, bak secarik kertas putih. Realitas yang terjadi kemudian, kertas putih mulai tergores pensil, tercoret tulisan, terpercik tinta, bahkan teremas, hingga sulit kembali bersih dan licin. Perlu upaya untuk mengembalikan pada kondisi semula. Dalam perjalanannya, manusia tak luput dari kesalahan dan dosa baik terhadap Tuhan maupun terhadap sesama manusia. Manusia sering tergoda untuk melakukan beragam kesalahan, permusuhan, iri, dengki, pertikaian, dan saling menyakiti. Idul Fitri merupakan momen untuk saling memaafkan, saling memulihkan, saling mengembalikan kondisi, untuk kembali fitri. Lebaran pun dimaknai sebagai suatu pesta kemenangan umat Islam setelah sebulan penuh menjalani puasa di Bulan Ramadhan. Pesta kemenangan karena telah berhasil melawan berbagai nafsu. Itulah makna Idul Fitri.

Gambar

Selamat Idul Fitri, indahnya kebersamaan dalam keberagaman.
Sumber Foto: http://www.waroeng.nl

Bagaimana halnya dengan non muslim? Apa makna Lebaran bagi non muslim? Adakah makna Lebaran bagi non muslim? Umat non muslim pun turut memaknai Lebaran dalam persepsi dan caranya masing-masing. Berikut di antaranya:

1.   Lebaran adalah masa libur panjang

Dalam hal yang satu ini, baik umat muslim maupun non muslim sebenarnya sama saja. Sama-sama menantikan momen Lebaran. Sama-sama menanti dengan penuh harap, agar segera tiba, namun mungkin dengan persepsi yang berbeda. Kalau boleh, semoga Lebaran datangnya dapat dipercepat. Bagi sebagian besar orang (karena ada juga profesi-profesi yang tidak mendapatkannya), Lebaran merupakan masa liburan panjang. Masa yang dapat dipergunakan dengan beragam cara dan sesuai kebutuhan. Umat non muslim menantikan masa libur Lebaran, supaya bisa berlibur, pergi ke luar kota, bahkan ke luar negeri. Cobalah cek agen-agen perjalanan wisata, coba tilik tour-tour yang ada. Biasanya pada waktu libur Lebaran, paket wisata laris bak kacang goreng, bahkan bak pisang goreng. Hampir semua habis terjual, baik paket wisata dalam negeri, maupun luar negeri. Banyak sekali agen perjalanan wisata yang menawarkan paket wisata yang disesuaikan dengan masa libur Lebaran. Jauh-jauh hari, paket-paket tersebut sudah habis terjual, hotel penuh, penginapan fully booked. Tidak perlu heran dan jangan heran, itulah kenyataannya.

Umat non muslim ikut menanti Lebaran dan turut menyesuaikan waktu liburnya, mencocokkannya dengan masa libur Lebaran. Beragam pertimbangannya, bermacam alasannya. Berikut di antaranya, “Supaya pas dengan waktu cuti bersama di kantor, agar pas dengan waktu mudik para asisten rumah tangga, agar tidak mengganggu waktu sekolah, karena liburnya panjang”.

2.   Lebaran adalah bagi-bagi Tunjangan Hari Raya (THR)

Realita yang terjadi, THR ternyata tidak hanya ditunggu oleh umat Muslim yang merayakan hari raya saja. Pemberian THR juga berlaku untuk non muslim. Sebagian perusahaan yang memiliki karyawan yang beragam, memberikan THR tanpa membedakan muslim atau non muslim, menyamakan waktu pemberian THR dengan waktu pemberian THR bagi umat muslim. Mungkin ini tidak berlaku bagi perusahaan yang jumlah karyawan non muslimnya menjadi mayoritas. Untuk kasus tersebut, biasanya THR disesuaikan dengan hari raya keagamaannya masing-masing. Namun, untuk perusahaan maupun instansi/lembaga lainnya, THR juga diberikan kepada karyawan non muslim.

Rutinitas bagi-bagi THR juga dialami dan dilakukan oleh umat non muslim. Umat non muslim pun memiliki kebiasaan dan memang diwajibkan untuk membagi-bagi THR bagi para karyawannya yang muslim. Dengan demikian, Lebaran memiliki makna bagi-bagi THR secara universal, tanpa memandang muslim atau non muslim.

3.   Lebaran adalah toleransi

Inilah makna terpenting. Hari Lebaran sekaligus juga harus dimaknai sebagai toleransi, tenggang rasa, kebersamaan dalam keberagaman. Perbedaan keyakinan bukanlah alasan untuk saling mencurigai, menyerang, ataupun memusuhi. Perbedaan justru harus menjadi sarana untuk kebajikan. Dimaknai untuk saling memaafkan dan saling berbagi kasih. Berlapangdadalah ketika kita menghadapi perbedaan, karena kita memang selalu dihadapkan pada perbedaan, bahkan orang yang terdekat dengan kita pun bisa berbeda.

Sebenarnya sejak memasuki Bulan Ramadhan hingga Hari Raya Lebaran, suasana harmoni lintas agama sudah terlihat melalui rutinitas berpuasa. Umat muslim dan non muslim harus saling menghormati, saling menghargai. Non muslim menghormati umat muslim yang berpuasa, demikian pula sebaliknya. Contoh kecil, puasa sejatinya tidak membuat dan memaksakan kehendak sebagian orang atau sebagian kelompok agar restoran dan warung makan tutup. Sejatinya tidak hanya orang non muslim saja yang dihimbau untuk menghormati orang yang berpuasa. Namun, sebaliknya yang menjalankan puasa pun harus bertoleransi terhadap orang yang tidak berpuasa.

Toleransi berlanjut. Suasana harmoni makin terbangun melalui acara buka puasa bersama, tradisi mudik, tradisi halal bihalal, dan tradisi silaturahmi antarwarga saat Lebaran. Pada sebagian wilayah, sudah terjadi. Peristiwa kunjungan silaturahmi warga non muslim ke rumah warga muslim saat Lebaran sangat lumrah terjadi. Silaturahmi tetap harus terjaga dengan apik. Buka puasa bersama hanya momentum. Intinya adalah kebersamaan, tidak membatasi muslim atau non muslim.

Lebih indah lagi ketika kita melihat toleransi yang sangat nyata dan jelas terjadi antara Masjid Istiqlal dan Gereja Kathedral di Jakarta. Kerukunan dan kedamaian harus tetap terpelihara, karena toleransi antarumat beragama pasti juga diajarkan oleh semua agama di dunia. Inilah makna yang sejati. Ketika Hari Lebaran jatuh pada Hari Minggu, Gereja Kathedral memundurkan jadwal misanya, demi memberikan kesempatan umat muslim untuk shalat Ied di Masjid Istiqlal. Gereja Kathedral juga membuka pintu halamannya lebar-lebar untuk menampung kendaraan pribadi umat muslim yang Shalat Ied di Masjid Istiqlal. Demikian pula halnya Masjid Istiqlal yang membuka gerbang halamannya lebar-lebar ketika ada Misa Natal. Justru di sanalah terpampang keindahan. Kebersamaan dalam keberagaman. Toleransi yang sangat kasat mata. Jangan sampai agama menjadi komoditi untuk berpolitik dan dipolitisasi.

Contoh lainnya cukup banyak, misal di Yogyakarta, sangat wajar terjadi, saat masa Lebaran umat non muslim turut membuat ketupat dan saling mengirim ketupat. Bahkan di Inggris sekalipun, toleransi sudah terbangun. Ada gereja tua yang sudah lama tidak terpakai, akhirnya diijinkan untuk digunakan sebagai masjid.

Jika ini senantiasa terwujud, betapa indahnya Indonesia. (Del)